Saya kok sudah tidak mengerti lagi makna dari 17 Agustus, terkecuali cuma mengerti bahwa hari ini adalah tanggal dimana Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia mengatas namakan Rakyat Indonesia. Selebihnya ya seperti hari-hari biasa, satu yang pasti adalah “YESS Hari Libur Lagi”
Makna tanggal 17 Agustus buat setiap orang pasti berbeda-beda.
Nah, itulah yang akan saya bahas sekarang :
Untuk anak yang belum sekolah
Anak-anak yang belum mengalami masa sekolah berpikir 17 Agustus adalah perlombaan. Dimana mereka bisa mendapatkan hadiah buku tulis, pensil berwarna biru becampur hitam, penghapus,rautan yang berwarna-warni, dan mungkin ada cash money dari panitia. Masa-masa seperti mereka hanya ada kegembiraan menyambut 17 Agustus. Apalagi ketika menjadi juara 1, rasanya seperti memenangkan Piala Dunia saja.
Anak SD
Upacara bendera yang bosen dan sucks, berdiri selama sekitar 1 jam, dan berpura-pura khidmat di antara barisan sambil sesekali ngobrol. Tidak lupa jeweran pak guru ketika ketahuan ngobrol.
Setelah itu, baru mereka memikirkan perlombaan!
Anak SMP
Lagi-lagi Upacara bendera. Kali ini lebih banyak yang mengikuti dibandingkan saat SD dulu. Tidak jarang banyak yang jatuh pingsan karena terlalu lama berdiri dan dibopong anggota PMR atau PRAMUKA yang justru lebih nyaman untuk jalan-jalan di sekitar area upacara. Dan yang membuat ngiri lagi, saat anggota PMR itu dengan tenangnya ngobrol! Itulah sebabnya aku ga pernah suka dengan kegiatan PMR, (cuma PMR).
Anak SMA
Upacara bendera terus. Tpi setela upacara bendera ada yang dinanti anak muda jaman SMA, ada acara penras seni. Jadi estela upacara bendera langsung main band.
Anak Kuliah
Liburan! Dan itu berarti ada waktu yang sangat panjang untuk menikmati hari-hari bersama pacar. Atau, menjadi panitia 17 agustus yang sibuk mengurusi hadiah, lomba, dan cerewetnya ibu-ibu yang ingin anaknya menang.
Pekerja Negeri
Upacara lagi. Tapi walaupun upacara hampir dua jam (plus gladi resik), tapi ada yang disukai sehabis upacara. Potong tumpeng dan makan-makan satu cantor. Jadi itungannya dapat makan pagi plus makan siang dibungkus.
Pekerja Swasta
Liburan! Santai di rumah, menonton tv dan tidur!
Bagaimana denganku?
Saat terakhir saya merasakan getaran kebanggaan itu ketika melihat Piala Asia kemarin, saya masih bisa merasakan sedikit kebanggaan saya sebagai orang Indonesia. Selebihnya kembali seperti semula.
Tanggal 17 Agustus bagiku memang tidak jauh berbeda dengan hari-hari libur lain. Tidak Nasionalis? mungkin saja. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Ikut Upacara? Oh, terima kasih.
Jadi mungkin aku akan menaklukkan dunia maya dengan browsing teruz sambil chating yang tidak ada habisnya
Bagaimana denganmu?
Kamis, 31 Juli 2008
Minggu, 06 Juli 2008
TujUh Belas BUlan DelapAn hAmpir Tiba
Persis ditahun lalu dan bahkan di setiap tahun masyarakat Indonesia bersuka ria merakayakan hari kemerdekaannya. Mereka benar-benar sangat senang menyambut tujuh belasan ini, seolah lupa apa sebenarnya kita sudah merdeka. Atau memang mereka tidak tahu bagaimana rasanya dijajah.
Kemerdekaan sering ditafsirkan orang dengan terbebasnya manusia dari penindasan-penindasan dan aturan-aturan yang mengungkungnya. Dengan kata lain, kemerdekaan adalah kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, tanpa ada tekanan maupun campur tangan pihak-pihak lain. Orang merdeka adalah orang yang telah berdaulat sepenuhnya terhadap dirinya sendiri. Negara merdeka adalah negara yang memiliki kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri.
Dalam literature Islam, orang yang memiliki kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri disebut dengan tuan, sedangkan orang yang tidak memiliki kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri disebut dengan budak.
Bila dilihat berdasarkan teori konspirasi, istilah kemerdekaan sendiri adalah bagian dari desain politik kaum kafir untuk menghancurkan kesatuan dan kehidupan kaum muslim. Kemunculan istilah ini berawal setelah umat manusia —terutama negara Asia dan Afrika— mengalami penjajahan fisik bertahun-tahun lamanya. Penjajahan fisik telah memberikan kesadaran kepada mereka untuk melakukan perlawanan-perlawanan mengusir para penjajah, dan pentingnya mendapatkan sebuah kemerdekaan. Namun demikian, perlawanan-perlawanan melawan penjajah yang berkobar hampir di seluruh dunia tidak memberikan hasil yang nyata. Mereka —yang sebagian besar adalah kaum muslim— tetap terkungkung oleh dominasi dan hegemoni kaum kafir. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa perlawanan kaum muslim tidak didasarkan semangat dan pemikiran yang matang. Di sisi lain, perlawanan mereka bersifat regional, dan terpisah-pisah dengan perjuangan kaum muslim di negeri-negeri lain. Di sisi yang lain pula, Khilafah Islam sebagai pelindung mereka dari serangan kaum kafir sudah melemah, dan disibukkan dengan persoalan-persoalan lain. Khilafah Islam tidak mampu lagi mengcover kekuasaannya yang sangat luas. Akhirnya, perlawanan mereka mengalami kegagalan, meskipun telah menguras tenaga yang sangat besar. Bangsa di dunia tetap dicengkeram oleh penjajahan dan eksploitasi fisik. Di sisi lain perang jihad yang dikumandangkan kaum muslim tetap berkobar di mana-mana, meskipun Khilafah Islam tidak memberikan bantuan kepada mereka. Umat Islam dengan ruh jihadnya tetap tidak rela dikuasai oleh kaum kafir. Kekhawatiran kaum kafir terhadap gelombang perlawanan ini sudah mencapai tenggorakan mereka.
Kekhawatiran orang-orang kafir terhadap perlawanan kaum muslim, apalagi bila dibantu oleh tentara Khilafah Islam telah mendorong mereka untuk memetakan kembali kedudukan mereka di pentas politik internasional. Inggris memahami bahwa selama khilafah Islam masih berdiri maka kekuatan kaum muslim tidak mungkin bisa dikalahkah, meskipun keadaan negeri mereka sudah lemah dan terpecah belah. Ruh untuk bersatu dan hidup di bawah naungan hukum Islam merupakan lawan terbesar yang harus segera dipadamkan. Inggris memahami, bahwa ruh jihad dan menjadi ummat wahidah akan segera membakar mereka, jika Khilafah Islamiyyah berhasil memandu dan mengarahkan kembali kaum muslim. Sayangnya, Khalifah saat itu sudah sangat lemah, dan disibukkan dengan berbagai macam persoalan yang menjadikan dirinya tidak berkonsentrasi dalam mengurusi umat.
Untuk itu, Inggris mulai melancarkan serangan kepada khilafah Islam dengan cara menyebarkan paham nasionalisme, patriotisme, serta membuat opini “kemerdekaan adalah hak segala bangsa.” Tujuan dari opini ini adalah menggerakkan perlawanan orang-orang Arab untuk memerdekakan (memisahkan) diri Khilafah Islamiyyah, serta menjauhkan umat Islam dari persatuan dan cita-citanya untuk menjadi ummat wahidah.
Opini internasional yang mereka kembangkan di sekitar abad ke18-19-an ini, mau tidak mau mengharuskan mereka untuk mulai mengkaji kembali penjajahan fisik yang mereka lakukan di negeri-negeri Islam. Mereka mulai melakukan apa yang disebut dengan politik “balas budi”, bahkan memberikan kemerdekaan pada negara-negara jajahan mereka, dengan membentuk negara persemakmuran (commonwealth).
Opini ini semakin menemukan bentuknya, setelah terjadinya perang dunia I dan II. Perang Dunia I telah menyeret Turki Utsmaniy —Khilafah Islamiyyah—ke dalam peperangan yang tidak jelas sebab dan arahnya ini. Peperangan ini semakin memperlemah kedudukan Khilafah Islamiyyah, sekaligus semakin mengkristalkan opini sesat ini. Padahal, Islam sendiri telah mendesain perang untuk tujuan menyebarkan Islam, dan memantapkan perdamaian di seluruh penjuru dunuia.
Akhirnya, dunia internasional berhasil diarahkan kepada sebuah opini bahwa penindasan dan eksploitasi secara fisik harus diakhir dengan memberikan “kemerdekaan” kepada seluruh bangsa untuk mengatur dan menentukan nasibnya sendiri. Opini ini berhasil mempengaruhi dunia internasional, termasuk negeri-negeri Arab untuk memerdekakan dirinya dari “penindasan Turki Utsmaniy”. Berdirilah di negeri-negeri Islam partai politik yang berlandaskan pada paham nasionalisme. Munculnya partai politik semacam lebih dikarenakan respon terhadap opini internasional, bahkan tidak sedikit dari gerakan-gerakan ini adalah bentukan dan mendapatkan arahan langsung dari barat. Diantara partai-partai politik tersebut, sedikit sekali partai poplitik yang didirikan dengan penuh kesadaran dan pemahaman. Tanpa disadari, partai-partai politik yang berasaskan paham nasionalisme ini telah membuat malapetaka besar bagi Islam dan kaum muslim; yakni berhasil diruntuhkannya Khilafah Islam —melalui gerakan Turki Muda—, serta terpecah belahnya kaum muslim menjadi puluhan negara yang lemah, terbelakang, dan mundur.
Dari sinilah “istilah kemerdekaan” (freedom) itu muncul, yang kemudian dibarengi dengan lahirnya negara-negara merdeka yang jumlahnya ratusan. Bagi orang yang waspada, tentu fenomena ini tidak terjadi begitu saja, akan tetapi ini merupakan konspirasi terencana yang ditujukan untuk menghancurkan ummat wahidah, dan institusi internasional kaum muslim, Khilafah Islam. Padahal, negeri-negeri Islam ini, tidak pernah mendapatkan kemerdekaan sedikitpun dari barat. Bahkan, dengan sadisnya, kini barat berhasil menghisap kaum muslim dengan lebih leluasa, baik secara ekonomi, politik, militer, dan lain sebagainya. Kaum muslim juga dibuat semakin jauh dari ajarannya yang mulia. Lalu, apa arti “kemerdekaan” yang selama ini mereka peroleh, jika kenyataannya mereka masih dikungkung oleh sistem aturan, ideologi, dan juga orang-orang kafir yang berwajah penguasa-penguasa antek?
Setelah Khilafah berhasil dihancurkan, pada tahun 1924, kaum kafir berusaha mengambil seluruh kendali politik internasional dengan didirikannya PBB; yang sebelumnya di dahului dengan rekayasa Perang Dunia II. PBB sendiri didirikan untuk tujuan terselubung, yakni mengendalikan negara-negara ‘yang baru merdeka itu” dengan dalih menjaga perdamaian dunia, dan juga untuk menyebarkan paham “liberalisme” (kebebasan/kemerdekaan).
Padahal, peran untuk mengendalikan negeri-negeri Islam, dahulu dipegang oleh kaum muslim, Daulah Islamiyyah. Namun, peran ini diambil alih oleh organisasi ini untuk memusnahkan secara total kekuatan politik kaum muslim di dunia internasional. Selain itu, di negeri-negeri Islam sendiri, tidak pernah dikenal paham liberalisme, HAM, maupun demokrasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, PBB didesain sebagai alat efektif untuk memaksa negara-negara dunia agar mengikuti kehendak dan arahan kafir barat, terutama AS dan Inggris. Selain itu, organisasi ini juga membawa misi-misi kebudayaan, ideologi, dan pemikiran-pemikiran yang ditujukan untuk mendangkalkan aqidah umat, dan menjauhkan umat dari ajaran Islam yang suci dan bersih.
Inilah perangkap dari jargon “kemerdekaan” yang sengaja digunakan untuk menjebak kaum muslim dalam kesesatan dan kehancuran.
HAM dan Liberalisme Dalam Kemasan “Kemerdekaan”: Upaya Barat Melanggengkan Dominasinya
Berdirinya PBB dan dikeluarkannya “Universal Declaration of Human Right” pada tahun 1948 merupakan babak peperangan baru melawan kaum muslim. Deklarasi ini semakin memantapkan posisi kafir barat, terutama untuk menyebarkan ide-ide beracunnya, HAM, Demokrasi, dan Liberalisme.
Agar deklarasi itu memiliki kekuatan yuridis, maka pada tahun 1966 sidang umum PBB menyetujui secara aklamasi Perjanjian tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Convenant on Civil and Political Rights). Perjanjian tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) mulai berlaku pada bulan Januari 1976, sesudah diratifikasikan oleh 35 negara anggota. Sedangkan Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Convenant on Civil and Political Rights) setelah itu juga diberlakukan.
Di samping Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik, juga disusun Optional Protocol yang menetapkan bahwa Panitia Hak Asasi (Panitia Hak Asasi [Human Rights Committee] adalah panitia yang didirikan oleh PBB untuk menerima dan menyelidiki pengaduan dari suatu negara terhadap negara lain dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap suatu ketentuan dalam Perjanjian Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.) juga dapat menerima pengaduan dari perseorangan terhadap negara yang menandatangani Optional Protocol itu jika terjadi pelanggaran terhadap ketentan-ketentuan Perjanjian Hak-hak Sipil dan Politik.
Pengajaran-pengajaran di sekolah-sekolah kaum muslim, termasuk di dalamnya pelajaran sejarah, tidak luput dari propaganda-propaganda untuk semakin memantapkan ide-ide ini. Pengajaran-pengajaran ini ditujukan agar kaum muslim menjadikan sejarah mereka sebagai tolok ukur untuk menerima paham ini. Barat sengaja melansir sejarah-sejarah ditegakkannya Hak Asasi Manusia di barat agar kaum muslim menjadikannya sebagai contoh yang mesti diterapkan. Barat melansir naskah-naskah berikut ini:
(1) Magna Charta (Piagam Agung, tahun 1215), suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris kepada para bangsawan. Naskah ini juga memberikan batasan kekuasaan raja John.
(2) Bill of Rights (Undang-undang Hak, 1689), naskah dibuat oleh Parlemen Inggris setelah terjadinya The Glorious Revolution of 1688).
(3) De’claration des droits de l’homme et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenangan rejim lama.
(4) Bill of Rights (Undang-undang hak), suatu naskah yang disusun rakyat Amerika dalam tahun 1789.
Namun, hak-hak yang dicetuskan pada naskah-naskah itu hanya memuat hak-hak yang bersifat politis saja, seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.
Pada abad-abad berikutnya, barat menginginkan sebuah kebebasan politik yang lebih luas cakupannya dari pada hak-hak politis masa lalu. Jargon paling terkenal adalah empat hak yang dirumuskan oleh Franklin D Roosevelt pada permulaan perang dunia II, atau yang disebut dengan the Four Freedom:
1. kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech);
2. kebebasan beragama (freedom of religion);
3. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear);
4. kebebasan dari kemiskinan (freedom from want).
Meskipun berujud jargon kosong dan khayali, namun hampir semua negara yang baru merdeka (lebih tepatnya dimerdekakan oleh kafir barat) termakan oleh opini ini.
Negara-negara yang baru merdeka itu –baik di Asia maupun Afrika—berusaha menyusun konstitusi berdasarkan arahan-arahan opini umum di atas. “Kemerdekaan semu” yang mereka peroleh menjadikan mereka dilanda eufhoria berlebihan terhadap model barat.
Sistem pemerintahan, termasuk di dalam sistem ekonomi, politik, social dan budaya, disusun berdasarkan teori-teori politik barat. Negeri-negeri yang dahulu tunduk dengan sistem Khilafah Islamiyyah telah berubah menjadi negara-negara kecil yang berasaskan paham demokrasi. Muncullah di negeri-negeri Islam, negara-negara bangsa yang sistem pemerintahannya berbentuk republik presidensil maupun parlementer.
Padahal, ini merupakan bentuk kemaksiyatan dan pengkhianatan terbesar terhadap kaum muslim. Kemerdekaan yang menjadikan umat terpecah belah dan terkotak-kotak dalam bingkai nation state, bukanlah sesuatu yang patut disyukuri dan dirayakan. Kemerdekaan yang menjerumuskan kaum muslim pada ajaran liberalisme, demokrasi, dan HAM tidak akan mungkin diridloi oleh Allah Swt. Kemerdekaan yang menjadikan kaum muslim meninggalkan aturan-aturan Allah swt merupakan aib dan dosa terbesar bagi kaum muslim.
Sejatinya, kemerdekaan yang selalu diperingati dan disyukuri oleh jutaan kaum muslim, merupakan bencana terbesar dalam hidup dan kehidupannya. Kegigihan para penguasa untuk mempertahankan rejim demokratik beserta pranata-pranata kufurnya merupakan sikap kepala batu yang tidak dimiliki oleh seorang mukmin sejati.
Adakah Kemerdekaan Mutlak? Kritik Islam Atas Paham Liberalisme
Manusia adalah makhluk social yang hidup berdampingan dengan manusia-manusia yang lain. Secara alami, ia akan hidup berdampingan dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Ia akan bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan pemahaman yang ada di benaknya. Demikian juga tatkala ia berinteraksi dengan manusia lainnya. Interaksi itu bisa terjadi jika keduanya mempunyai persepsi dan perasaan yang sama, kemudian diatur dengan aturan yang mereka sepakati bersama. Bila mereka tidak sepakat dengan aturan tersebut, maka interaksi itu tidak akan pernah terjadi, dan langgeng. Setelah disepakati, aturan ini akan mengikat keduanya dan memaksa keduanya untuk tunduk. Agar ia bisa berinteraksi dengan manusia yang lainnya, ia tidak mungkin bisa berbuat sekehendak hatinya, ataupun mengabaikan inrteraksi-interaksi yang ada di dalamnya.
Ini semua menunjukkan bahwa di dalam realitas hidupnya, manusia selalu terikat dengan pemahaman serta interaksi yang dikembangkan di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kata lain, ia selalu terikat dengan pemikiran dan aturan-aturan yang meliputi dirinya.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada satupun orang yang bisa berbuat sekehendak hatinya, atau tanpa terikat dengan pemahaman maupun aturan –baik aturan yang diterapkan oleh negara, pranata bersama, maupun pranatanya sendiri.
Ketika manusia berusaha mengekspresikan kehendaknya tidak jarang ekspresinya ini bertentangan dengan ekspresi orang lain. Oleh karena itu, tidak ada satupun kebebasan mutlak tanpa menimbulkan masalah bagi individu yang lain. Ini berarti bahwa kebebasan mutlak itu tidak akan pernah terwujud di dalam realitas hidup. Seandainya setiap individu tidak mau terikat dengan aturan-aturan yang ada, atau tidak menggubris hak-hak orang lain, tentu dunia ini akan dipenuhi penindasan, peperangan, dan kekacauan-kekacauan yang luar biasa. Di dunia ini akan berlaku hukum rimba, siapa yang kuat siapa yang menang.
Paham liberalisme, demokrasi dan HAM yang digembar-gemborkan kafir barat, sesungguhnya tidak akan pernah bisa diwujudkan di dalam realitas kehidupan. Paham-paham seperti itu hanyalah paham utopis dan tidak sesuai dengan fithrah manusia.
Yang terpenting bukan bebas atau tidaknya, akan tetapi keteraturan hidup manusia, serta adanya pranata yang bisa mengantarkan mereka menuju kebahagiaan tertinggi. Fakta di baratpun menunjukkan dengan jelas, bahwa tidak ada satupun orang yang bisa mengekspresikan kebebasannya sebebas-bebasnya. Mereka juga terikat dengan aturan-aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak bisa berbuat sekehendak hatinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Mereka juga mengekspresikan tingkah lakunya sejalan dengan pemikiran-pemikiran yang ada di dalam otaknya.
Lalu, peraturan mana yang hendak kita pakai untuk mengatur kehidupan manusia? Pertanyaan ini sangat mudah untuk dijawab: tergantung ideologi dan pemikiran yang ada di benak orang tersebut. Jika dirinya seorang muslim tentu ia akan mengatakan bahwa aturan Allah adalah aturan terbaik. Sedangkan orang sosialis akan menyatakan bahwa aturan yang paling baik harus muncul dari evolusi alat-alat produksi, yakni aturan sosialisme yang dibangun di atas dasar equality.
Fakta telah menunjukkan, meskipun kaum kapitalis dan sosialis mengklaim bahwa pranata mereka adalah pranata terbaik, namun kedua peradaban mereka tidak pernah, bahkan sekali-kali tidak akan pernah bisa mengantarkan manusia kepada kemakmuran. Selain karena ide-ide mereka khayali dan absurd, paham ini telah bertentangan dengan akal dan fithrah manusia. Berbeda dengan hukum Islam. Dalam lintasan sejarahnya, hukum Islam telah membuktikan sebagai aturan terbaik yang pernah diterapkan di muka bumi ini.
Selain itu, paham kebebasan yang digembar-gemborkan oleh barat, jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, seorang muslim telah diperintahkan untuk selalu terikat dengan aturan-aturan Allah Swt. Seorang muslim tidak boleh berbuat apapun tanpa didasarkan pada hukum syara’. Al-Qur'an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Iislam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 208).
Oleh karena itu, setiap kaum muslim harus menyandarkan dirinya kepada aturan Allah swt. Ia tidak boleh menyimpang dari aturan Allah swt seujung rambutpun. Adapun kritik Islam terhadap HAM yang bertumpu pada empat kebebasan adalah sebagai berikut:
a. Kebebasan Berpendapat
Tidak ada kebebasan bicara sebagaimana yang terjadi di dunia barat, di dalam Islam. Seluruh pembicaraan kaum muslim harus sejalan dengan hukum Allah. Yang terpenting adalah, isi pembicaraannya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Namun, dirinya diberi kebebasan untuk menyampaikan kebenaran —yang sejalan dengan Islam— kepada orang lain, baik penguasa maupun tidak. Al-Qur'an telah menyatakan, artinya,
“Dan apabila ada orang-orang yang mengolok-olok ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat.” (Qs. Al-An’am [6]: 68).
Ayat ini menerangkan dengan jelas, bahwa pembicaraan seorang muslim harus selalu didasarkan kepada prinsip-prinsip ‘aqidah dan syari’at Islam. Ia dilarang mengeluarkan perkataan yang bertentangan atau bahkan mengolok-olok ayat Allah swt. Ini berbeda dengan apa yang terjadi di barat, pemerintahan Inggris telah melindungi Salman Rusydi yang telah mengeluarkan buku yang menghina Islam. Dalam sistem Islam, orang-orang yang kedapatan menghina Allah, Rasul, dan KitabNya bisa diganjar dengan hukuman mati.
b. Kebebasan Bertingkah Laku
Paham ini jelas-jelas bertentangan dengan syari’at Islam. Sebab, setiap kaum muslim diperintahkan untuk berbuat sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Barangsiapa diantara kalian mengerjakan perbuatan, dan perbuatan itu tidak diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak.” (muttafaq ‘alaih). Seorang muslim ketika berbuat harus senantiasa menyandarkan dirinya dengan aturan Allah. Ia tidak boleh berbuat yang tidak sejalan atau bertentangan dengan hukum Islam. Wanita muslimah diperintahkan untuk mengenakan jilbab dan khimar. Ia tidak boleh menampakkan auratnya di kehidupan umum, maupun khusus, kecuali ada alasan-alasan syar’iy. Berbeda dengan kafir barat Mereka berbuat sekehendak hatinya —dengan catatan tidak mengganggu orang lain. Wanita-wanita barat berzina, dan mengumbar auratnya sekehendak hati. Seorang laki-laki dan wanita dibiarkan bebas berhubungan sex dengan sejenisnya. Padahal, dalam pandangan Islam, perbuatan semacam ini adalah perbuatan terlarang dan pelakunya berhak dikenai sanksi hukum.
c. Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama adalah ide sesat yang sangat bertentangan dengan Islam. Asumsi yang menyatakan bahwa semua agama benar, sehingga orang bisa pindah ke agama yang lain, atau bahkan tidak beragama merupakan paham yang bertentangan dengan ‘aqidah Islam. Benar, Islam tidak memaksa non muslim untuk masuk ke dalam Islam. Akan tetapi, jika seseorang telah masuk Islam, dirinya wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan Islam. Jika ia murtad, maka ia dikenai sanksi bunuh. Seorang muslim tidak boleh berkeyakinan atau mendakwahnya pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia.” (Muttafaq ‘alaih). Al-Quran juga mengingatkan kepada umat manusia bahwa Islama adalah agama terbenar, sekaligus orang yang tidak masuk ke dalam Islam bahwa mereka akan mendapatkan kesia-siaan hidup.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima agama itu daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Ali-Imran [3]: 85).
d. Kebebasan Kepemilikan
Paham ini juga sangat bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, setiap orang boleh memiliki dan mengelola suatu barang, berdasarkan prinsip-prinsip syari’at. Islam telah menetapkan barang-barang yang boleh dimiliki, dan mana yang tidak boleh dimiliki. Islam telah membolehkan kaum muslim memiliki dan menyimpan pakaian, akan tetapi ia dilarang memiliki dan menyimpan khamer, daging babi, serta benda-benda haram lainnya.
Islam juga mengatur prinsip-prinsip untuk mendapatkan harta, karakteristik kepemilikan harta, serta cara mengelola harta. Untuk mendapatkan harta, kaum muslim harus bekerja, atau melakukan tindak-tindak yang dibolehkan oleh syara’, misalny amenjadi makelar, berdagang, dan lain-lain.
Islam juga telah mengatur karakteristik kepemilikan harta. Ada harta-harta yang termasuk kategori kepemilikan individu, umum, dan negara. Individu kaum muslim tidak boleh menguasai asset-aset milik umum. Contohnya, perusahaan swasta dilarang memiliki, atau mengelola pertambangan-pertambangan yang depositnya melimpah, seperti apa yang dilakukan oleh penguasa-penguasa muslim yang memprivatisasi asset-aset umum. Tindakan semacam ini merupakan penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum syari’at. Walhasil, paham kebebasan kepemilikan merupakan paham sesat yang bertentangan dengan Islam.
Demikianlah, anda telah kami terangkan kesalahan-kesalahan persepsi barat mengenai kemerdekaan (kebebasan).
Semua ini menunjukkan bahwa jargon-jargon kebebasan ala barat merupakan jargon sesat yang tidak pernah bisa diwujudkan dalam kenyataan. Semua statement mereka adalah statement kosong yang tidak mungkin bsia diterapkan dalam tataran realitas.
Kembali Kepada Aturan dan Sistem Allah
Walhasil, membangun peradaban manusia dengan bertumpu kepada dua ideologi khayal –kapitalisme dan sosialisme— hanya akan membenamkan manusia pada jurang kehancuran dan kerusakan. Negeri-negeri Islam yang berdiri di atas paham nasionalisme, dan menerapkan paham-paham kafir barat –ala demokrasi, liberalisme dan HAM— tidak akan pernah bisa mentransformasikan dirinya menjadi negara yang maju. Mereka juga tidak akan mungkin bisa menjadi ummat wahidah selama mereka masing terkungkung dengan paham nasionalisme dan pranata-pranata posistif barat.
Merdeka dari penindasan penjajah barat harusnya tidak sekedar merdeka secara fisik, lebih dari itu negeri-negeri kaum muslim harus bisa memerdekakan dirinya dari aturan-aturan kufur dan dominasi kaum kafir yang membelenggu dirinya. Sayangnya, negeri-negeri Islam masih didominasi oleh aturan kufur barat, dan penguasanya masih menyandarkan dirinya kepada kafir barat.
Kemerdekaan fisik yang sudah mereka raih tidak boleh diartikan bahwa mereka juga bebas (merdeka) untuk melepaskan dirinya dari aturan Allah. Bahkan, kewajiban bagi mereka yang memiliki kekuasaan adalah menerapkan aturan Islam, dan mengubah sistem pemerintahan yang berlandaskan sistem demokratik barat dengan sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyyah. Selanjutnya, mereka diwajibkan untuk menyatukan negeri-negeri kaum muslim yang telah terpecah belah itu ke dalam satu pemerintahan tunggal, Khilafah Islamiyyah. Selanjutnya mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam dengan dakwah dan jihad.
Selama para penguasa di negeri Islam masih menyandang gelar sebagai kaum muslim mereka diwajibkan untuk hanya mengabdi dan tunduk kepada Allah Swt. Ia tidak boleh menghambakan dirinya kepada aturan-aturan kufur dan orang-orang kafir barat yang tidak henti-hentinya menghisap, dan merampok harta kekayaan mereka. Walhasil, tidak ada lagi kemerdekaan bagi mereka untuk berbuat sekehendak hati. Akan tetapi, mereka diperintahkan untuk selalu terikat dengan aturan Allah swt.
Kemerdekaan sering ditafsirkan orang dengan terbebasnya manusia dari penindasan-penindasan dan aturan-aturan yang mengungkungnya. Dengan kata lain, kemerdekaan adalah kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, tanpa ada tekanan maupun campur tangan pihak-pihak lain. Orang merdeka adalah orang yang telah berdaulat sepenuhnya terhadap dirinya sendiri. Negara merdeka adalah negara yang memiliki kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri.
Dalam literature Islam, orang yang memiliki kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri disebut dengan tuan, sedangkan orang yang tidak memiliki kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri disebut dengan budak.
Bila dilihat berdasarkan teori konspirasi, istilah kemerdekaan sendiri adalah bagian dari desain politik kaum kafir untuk menghancurkan kesatuan dan kehidupan kaum muslim. Kemunculan istilah ini berawal setelah umat manusia —terutama negara Asia dan Afrika— mengalami penjajahan fisik bertahun-tahun lamanya. Penjajahan fisik telah memberikan kesadaran kepada mereka untuk melakukan perlawanan-perlawanan mengusir para penjajah, dan pentingnya mendapatkan sebuah kemerdekaan. Namun demikian, perlawanan-perlawanan melawan penjajah yang berkobar hampir di seluruh dunia tidak memberikan hasil yang nyata. Mereka —yang sebagian besar adalah kaum muslim— tetap terkungkung oleh dominasi dan hegemoni kaum kafir. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa perlawanan kaum muslim tidak didasarkan semangat dan pemikiran yang matang. Di sisi lain, perlawanan mereka bersifat regional, dan terpisah-pisah dengan perjuangan kaum muslim di negeri-negeri lain. Di sisi yang lain pula, Khilafah Islam sebagai pelindung mereka dari serangan kaum kafir sudah melemah, dan disibukkan dengan persoalan-persoalan lain. Khilafah Islam tidak mampu lagi mengcover kekuasaannya yang sangat luas. Akhirnya, perlawanan mereka mengalami kegagalan, meskipun telah menguras tenaga yang sangat besar. Bangsa di dunia tetap dicengkeram oleh penjajahan dan eksploitasi fisik. Di sisi lain perang jihad yang dikumandangkan kaum muslim tetap berkobar di mana-mana, meskipun Khilafah Islam tidak memberikan bantuan kepada mereka. Umat Islam dengan ruh jihadnya tetap tidak rela dikuasai oleh kaum kafir. Kekhawatiran kaum kafir terhadap gelombang perlawanan ini sudah mencapai tenggorakan mereka.
Kekhawatiran orang-orang kafir terhadap perlawanan kaum muslim, apalagi bila dibantu oleh tentara Khilafah Islam telah mendorong mereka untuk memetakan kembali kedudukan mereka di pentas politik internasional. Inggris memahami bahwa selama khilafah Islam masih berdiri maka kekuatan kaum muslim tidak mungkin bisa dikalahkah, meskipun keadaan negeri mereka sudah lemah dan terpecah belah. Ruh untuk bersatu dan hidup di bawah naungan hukum Islam merupakan lawan terbesar yang harus segera dipadamkan. Inggris memahami, bahwa ruh jihad dan menjadi ummat wahidah akan segera membakar mereka, jika Khilafah Islamiyyah berhasil memandu dan mengarahkan kembali kaum muslim. Sayangnya, Khalifah saat itu sudah sangat lemah, dan disibukkan dengan berbagai macam persoalan yang menjadikan dirinya tidak berkonsentrasi dalam mengurusi umat.
Untuk itu, Inggris mulai melancarkan serangan kepada khilafah Islam dengan cara menyebarkan paham nasionalisme, patriotisme, serta membuat opini “kemerdekaan adalah hak segala bangsa.” Tujuan dari opini ini adalah menggerakkan perlawanan orang-orang Arab untuk memerdekakan (memisahkan) diri Khilafah Islamiyyah, serta menjauhkan umat Islam dari persatuan dan cita-citanya untuk menjadi ummat wahidah.
Opini internasional yang mereka kembangkan di sekitar abad ke18-19-an ini, mau tidak mau mengharuskan mereka untuk mulai mengkaji kembali penjajahan fisik yang mereka lakukan di negeri-negeri Islam. Mereka mulai melakukan apa yang disebut dengan politik “balas budi”, bahkan memberikan kemerdekaan pada negara-negara jajahan mereka, dengan membentuk negara persemakmuran (commonwealth).
Opini ini semakin menemukan bentuknya, setelah terjadinya perang dunia I dan II. Perang Dunia I telah menyeret Turki Utsmaniy —Khilafah Islamiyyah—ke dalam peperangan yang tidak jelas sebab dan arahnya ini. Peperangan ini semakin memperlemah kedudukan Khilafah Islamiyyah, sekaligus semakin mengkristalkan opini sesat ini. Padahal, Islam sendiri telah mendesain perang untuk tujuan menyebarkan Islam, dan memantapkan perdamaian di seluruh penjuru dunuia.
Akhirnya, dunia internasional berhasil diarahkan kepada sebuah opini bahwa penindasan dan eksploitasi secara fisik harus diakhir dengan memberikan “kemerdekaan” kepada seluruh bangsa untuk mengatur dan menentukan nasibnya sendiri. Opini ini berhasil mempengaruhi dunia internasional, termasuk negeri-negeri Arab untuk memerdekakan dirinya dari “penindasan Turki Utsmaniy”. Berdirilah di negeri-negeri Islam partai politik yang berlandaskan pada paham nasionalisme. Munculnya partai politik semacam lebih dikarenakan respon terhadap opini internasional, bahkan tidak sedikit dari gerakan-gerakan ini adalah bentukan dan mendapatkan arahan langsung dari barat. Diantara partai-partai politik tersebut, sedikit sekali partai poplitik yang didirikan dengan penuh kesadaran dan pemahaman. Tanpa disadari, partai-partai politik yang berasaskan paham nasionalisme ini telah membuat malapetaka besar bagi Islam dan kaum muslim; yakni berhasil diruntuhkannya Khilafah Islam —melalui gerakan Turki Muda—, serta terpecah belahnya kaum muslim menjadi puluhan negara yang lemah, terbelakang, dan mundur.
Dari sinilah “istilah kemerdekaan” (freedom) itu muncul, yang kemudian dibarengi dengan lahirnya negara-negara merdeka yang jumlahnya ratusan. Bagi orang yang waspada, tentu fenomena ini tidak terjadi begitu saja, akan tetapi ini merupakan konspirasi terencana yang ditujukan untuk menghancurkan ummat wahidah, dan institusi internasional kaum muslim, Khilafah Islam. Padahal, negeri-negeri Islam ini, tidak pernah mendapatkan kemerdekaan sedikitpun dari barat. Bahkan, dengan sadisnya, kini barat berhasil menghisap kaum muslim dengan lebih leluasa, baik secara ekonomi, politik, militer, dan lain sebagainya. Kaum muslim juga dibuat semakin jauh dari ajarannya yang mulia. Lalu, apa arti “kemerdekaan” yang selama ini mereka peroleh, jika kenyataannya mereka masih dikungkung oleh sistem aturan, ideologi, dan juga orang-orang kafir yang berwajah penguasa-penguasa antek?
Setelah Khilafah berhasil dihancurkan, pada tahun 1924, kaum kafir berusaha mengambil seluruh kendali politik internasional dengan didirikannya PBB; yang sebelumnya di dahului dengan rekayasa Perang Dunia II. PBB sendiri didirikan untuk tujuan terselubung, yakni mengendalikan negara-negara ‘yang baru merdeka itu” dengan dalih menjaga perdamaian dunia, dan juga untuk menyebarkan paham “liberalisme” (kebebasan/kemerdekaan).
Padahal, peran untuk mengendalikan negeri-negeri Islam, dahulu dipegang oleh kaum muslim, Daulah Islamiyyah. Namun, peran ini diambil alih oleh organisasi ini untuk memusnahkan secara total kekuatan politik kaum muslim di dunia internasional. Selain itu, di negeri-negeri Islam sendiri, tidak pernah dikenal paham liberalisme, HAM, maupun demokrasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, PBB didesain sebagai alat efektif untuk memaksa negara-negara dunia agar mengikuti kehendak dan arahan kafir barat, terutama AS dan Inggris. Selain itu, organisasi ini juga membawa misi-misi kebudayaan, ideologi, dan pemikiran-pemikiran yang ditujukan untuk mendangkalkan aqidah umat, dan menjauhkan umat dari ajaran Islam yang suci dan bersih.
Inilah perangkap dari jargon “kemerdekaan” yang sengaja digunakan untuk menjebak kaum muslim dalam kesesatan dan kehancuran.
HAM dan Liberalisme Dalam Kemasan “Kemerdekaan”: Upaya Barat Melanggengkan Dominasinya
Berdirinya PBB dan dikeluarkannya “Universal Declaration of Human Right” pada tahun 1948 merupakan babak peperangan baru melawan kaum muslim. Deklarasi ini semakin memantapkan posisi kafir barat, terutama untuk menyebarkan ide-ide beracunnya, HAM, Demokrasi, dan Liberalisme.
Agar deklarasi itu memiliki kekuatan yuridis, maka pada tahun 1966 sidang umum PBB menyetujui secara aklamasi Perjanjian tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Convenant on Civil and Political Rights). Perjanjian tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) mulai berlaku pada bulan Januari 1976, sesudah diratifikasikan oleh 35 negara anggota. Sedangkan Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Convenant on Civil and Political Rights) setelah itu juga diberlakukan.
Di samping Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik, juga disusun Optional Protocol yang menetapkan bahwa Panitia Hak Asasi (Panitia Hak Asasi [Human Rights Committee] adalah panitia yang didirikan oleh PBB untuk menerima dan menyelidiki pengaduan dari suatu negara terhadap negara lain dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap suatu ketentuan dalam Perjanjian Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.) juga dapat menerima pengaduan dari perseorangan terhadap negara yang menandatangani Optional Protocol itu jika terjadi pelanggaran terhadap ketentan-ketentuan Perjanjian Hak-hak Sipil dan Politik.
Pengajaran-pengajaran di sekolah-sekolah kaum muslim, termasuk di dalamnya pelajaran sejarah, tidak luput dari propaganda-propaganda untuk semakin memantapkan ide-ide ini. Pengajaran-pengajaran ini ditujukan agar kaum muslim menjadikan sejarah mereka sebagai tolok ukur untuk menerima paham ini. Barat sengaja melansir sejarah-sejarah ditegakkannya Hak Asasi Manusia di barat agar kaum muslim menjadikannya sebagai contoh yang mesti diterapkan. Barat melansir naskah-naskah berikut ini:
(1) Magna Charta (Piagam Agung, tahun 1215), suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris kepada para bangsawan. Naskah ini juga memberikan batasan kekuasaan raja John.
(2) Bill of Rights (Undang-undang Hak, 1689), naskah dibuat oleh Parlemen Inggris setelah terjadinya The Glorious Revolution of 1688).
(3) De’claration des droits de l’homme et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenangan rejim lama.
(4) Bill of Rights (Undang-undang hak), suatu naskah yang disusun rakyat Amerika dalam tahun 1789.
Namun, hak-hak yang dicetuskan pada naskah-naskah itu hanya memuat hak-hak yang bersifat politis saja, seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.
Pada abad-abad berikutnya, barat menginginkan sebuah kebebasan politik yang lebih luas cakupannya dari pada hak-hak politis masa lalu. Jargon paling terkenal adalah empat hak yang dirumuskan oleh Franklin D Roosevelt pada permulaan perang dunia II, atau yang disebut dengan the Four Freedom:
1. kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech);
2. kebebasan beragama (freedom of religion);
3. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear);
4. kebebasan dari kemiskinan (freedom from want).
Meskipun berujud jargon kosong dan khayali, namun hampir semua negara yang baru merdeka (lebih tepatnya dimerdekakan oleh kafir barat) termakan oleh opini ini.
Negara-negara yang baru merdeka itu –baik di Asia maupun Afrika—berusaha menyusun konstitusi berdasarkan arahan-arahan opini umum di atas. “Kemerdekaan semu” yang mereka peroleh menjadikan mereka dilanda eufhoria berlebihan terhadap model barat.
Sistem pemerintahan, termasuk di dalam sistem ekonomi, politik, social dan budaya, disusun berdasarkan teori-teori politik barat. Negeri-negeri yang dahulu tunduk dengan sistem Khilafah Islamiyyah telah berubah menjadi negara-negara kecil yang berasaskan paham demokrasi. Muncullah di negeri-negeri Islam, negara-negara bangsa yang sistem pemerintahannya berbentuk republik presidensil maupun parlementer.
Padahal, ini merupakan bentuk kemaksiyatan dan pengkhianatan terbesar terhadap kaum muslim. Kemerdekaan yang menjadikan umat terpecah belah dan terkotak-kotak dalam bingkai nation state, bukanlah sesuatu yang patut disyukuri dan dirayakan. Kemerdekaan yang menjerumuskan kaum muslim pada ajaran liberalisme, demokrasi, dan HAM tidak akan mungkin diridloi oleh Allah Swt. Kemerdekaan yang menjadikan kaum muslim meninggalkan aturan-aturan Allah swt merupakan aib dan dosa terbesar bagi kaum muslim.
Sejatinya, kemerdekaan yang selalu diperingati dan disyukuri oleh jutaan kaum muslim, merupakan bencana terbesar dalam hidup dan kehidupannya. Kegigihan para penguasa untuk mempertahankan rejim demokratik beserta pranata-pranata kufurnya merupakan sikap kepala batu yang tidak dimiliki oleh seorang mukmin sejati.
Adakah Kemerdekaan Mutlak? Kritik Islam Atas Paham Liberalisme
Manusia adalah makhluk social yang hidup berdampingan dengan manusia-manusia yang lain. Secara alami, ia akan hidup berdampingan dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Ia akan bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan pemahaman yang ada di benaknya. Demikian juga tatkala ia berinteraksi dengan manusia lainnya. Interaksi itu bisa terjadi jika keduanya mempunyai persepsi dan perasaan yang sama, kemudian diatur dengan aturan yang mereka sepakati bersama. Bila mereka tidak sepakat dengan aturan tersebut, maka interaksi itu tidak akan pernah terjadi, dan langgeng. Setelah disepakati, aturan ini akan mengikat keduanya dan memaksa keduanya untuk tunduk. Agar ia bisa berinteraksi dengan manusia yang lainnya, ia tidak mungkin bisa berbuat sekehendak hatinya, ataupun mengabaikan inrteraksi-interaksi yang ada di dalamnya.
Ini semua menunjukkan bahwa di dalam realitas hidupnya, manusia selalu terikat dengan pemahaman serta interaksi yang dikembangkan di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kata lain, ia selalu terikat dengan pemikiran dan aturan-aturan yang meliputi dirinya.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada satupun orang yang bisa berbuat sekehendak hatinya, atau tanpa terikat dengan pemahaman maupun aturan –baik aturan yang diterapkan oleh negara, pranata bersama, maupun pranatanya sendiri.
Ketika manusia berusaha mengekspresikan kehendaknya tidak jarang ekspresinya ini bertentangan dengan ekspresi orang lain. Oleh karena itu, tidak ada satupun kebebasan mutlak tanpa menimbulkan masalah bagi individu yang lain. Ini berarti bahwa kebebasan mutlak itu tidak akan pernah terwujud di dalam realitas hidup. Seandainya setiap individu tidak mau terikat dengan aturan-aturan yang ada, atau tidak menggubris hak-hak orang lain, tentu dunia ini akan dipenuhi penindasan, peperangan, dan kekacauan-kekacauan yang luar biasa. Di dunia ini akan berlaku hukum rimba, siapa yang kuat siapa yang menang.
Paham liberalisme, demokrasi dan HAM yang digembar-gemborkan kafir barat, sesungguhnya tidak akan pernah bisa diwujudkan di dalam realitas kehidupan. Paham-paham seperti itu hanyalah paham utopis dan tidak sesuai dengan fithrah manusia.
Yang terpenting bukan bebas atau tidaknya, akan tetapi keteraturan hidup manusia, serta adanya pranata yang bisa mengantarkan mereka menuju kebahagiaan tertinggi. Fakta di baratpun menunjukkan dengan jelas, bahwa tidak ada satupun orang yang bisa mengekspresikan kebebasannya sebebas-bebasnya. Mereka juga terikat dengan aturan-aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak bisa berbuat sekehendak hatinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Mereka juga mengekspresikan tingkah lakunya sejalan dengan pemikiran-pemikiran yang ada di dalam otaknya.
Lalu, peraturan mana yang hendak kita pakai untuk mengatur kehidupan manusia? Pertanyaan ini sangat mudah untuk dijawab: tergantung ideologi dan pemikiran yang ada di benak orang tersebut. Jika dirinya seorang muslim tentu ia akan mengatakan bahwa aturan Allah adalah aturan terbaik. Sedangkan orang sosialis akan menyatakan bahwa aturan yang paling baik harus muncul dari evolusi alat-alat produksi, yakni aturan sosialisme yang dibangun di atas dasar equality.
Fakta telah menunjukkan, meskipun kaum kapitalis dan sosialis mengklaim bahwa pranata mereka adalah pranata terbaik, namun kedua peradaban mereka tidak pernah, bahkan sekali-kali tidak akan pernah bisa mengantarkan manusia kepada kemakmuran. Selain karena ide-ide mereka khayali dan absurd, paham ini telah bertentangan dengan akal dan fithrah manusia. Berbeda dengan hukum Islam. Dalam lintasan sejarahnya, hukum Islam telah membuktikan sebagai aturan terbaik yang pernah diterapkan di muka bumi ini.
Selain itu, paham kebebasan yang digembar-gemborkan oleh barat, jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, seorang muslim telah diperintahkan untuk selalu terikat dengan aturan-aturan Allah Swt. Seorang muslim tidak boleh berbuat apapun tanpa didasarkan pada hukum syara’. Al-Qur'an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Iislam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 208).
Oleh karena itu, setiap kaum muslim harus menyandarkan dirinya kepada aturan Allah swt. Ia tidak boleh menyimpang dari aturan Allah swt seujung rambutpun. Adapun kritik Islam terhadap HAM yang bertumpu pada empat kebebasan adalah sebagai berikut:
a. Kebebasan Berpendapat
Tidak ada kebebasan bicara sebagaimana yang terjadi di dunia barat, di dalam Islam. Seluruh pembicaraan kaum muslim harus sejalan dengan hukum Allah. Yang terpenting adalah, isi pembicaraannya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Namun, dirinya diberi kebebasan untuk menyampaikan kebenaran —yang sejalan dengan Islam— kepada orang lain, baik penguasa maupun tidak. Al-Qur'an telah menyatakan, artinya,
“Dan apabila ada orang-orang yang mengolok-olok ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat.” (Qs. Al-An’am [6]: 68).
Ayat ini menerangkan dengan jelas, bahwa pembicaraan seorang muslim harus selalu didasarkan kepada prinsip-prinsip ‘aqidah dan syari’at Islam. Ia dilarang mengeluarkan perkataan yang bertentangan atau bahkan mengolok-olok ayat Allah swt. Ini berbeda dengan apa yang terjadi di barat, pemerintahan Inggris telah melindungi Salman Rusydi yang telah mengeluarkan buku yang menghina Islam. Dalam sistem Islam, orang-orang yang kedapatan menghina Allah, Rasul, dan KitabNya bisa diganjar dengan hukuman mati.
b. Kebebasan Bertingkah Laku
Paham ini jelas-jelas bertentangan dengan syari’at Islam. Sebab, setiap kaum muslim diperintahkan untuk berbuat sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Barangsiapa diantara kalian mengerjakan perbuatan, dan perbuatan itu tidak diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak.” (muttafaq ‘alaih). Seorang muslim ketika berbuat harus senantiasa menyandarkan dirinya dengan aturan Allah. Ia tidak boleh berbuat yang tidak sejalan atau bertentangan dengan hukum Islam. Wanita muslimah diperintahkan untuk mengenakan jilbab dan khimar. Ia tidak boleh menampakkan auratnya di kehidupan umum, maupun khusus, kecuali ada alasan-alasan syar’iy. Berbeda dengan kafir barat Mereka berbuat sekehendak hatinya —dengan catatan tidak mengganggu orang lain. Wanita-wanita barat berzina, dan mengumbar auratnya sekehendak hati. Seorang laki-laki dan wanita dibiarkan bebas berhubungan sex dengan sejenisnya. Padahal, dalam pandangan Islam, perbuatan semacam ini adalah perbuatan terlarang dan pelakunya berhak dikenai sanksi hukum.
c. Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama adalah ide sesat yang sangat bertentangan dengan Islam. Asumsi yang menyatakan bahwa semua agama benar, sehingga orang bisa pindah ke agama yang lain, atau bahkan tidak beragama merupakan paham yang bertentangan dengan ‘aqidah Islam. Benar, Islam tidak memaksa non muslim untuk masuk ke dalam Islam. Akan tetapi, jika seseorang telah masuk Islam, dirinya wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan Islam. Jika ia murtad, maka ia dikenai sanksi bunuh. Seorang muslim tidak boleh berkeyakinan atau mendakwahnya pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia.” (Muttafaq ‘alaih). Al-Quran juga mengingatkan kepada umat manusia bahwa Islama adalah agama terbenar, sekaligus orang yang tidak masuk ke dalam Islam bahwa mereka akan mendapatkan kesia-siaan hidup.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima agama itu daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Ali-Imran [3]: 85).
d. Kebebasan Kepemilikan
Paham ini juga sangat bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, setiap orang boleh memiliki dan mengelola suatu barang, berdasarkan prinsip-prinsip syari’at. Islam telah menetapkan barang-barang yang boleh dimiliki, dan mana yang tidak boleh dimiliki. Islam telah membolehkan kaum muslim memiliki dan menyimpan pakaian, akan tetapi ia dilarang memiliki dan menyimpan khamer, daging babi, serta benda-benda haram lainnya.
Islam juga mengatur prinsip-prinsip untuk mendapatkan harta, karakteristik kepemilikan harta, serta cara mengelola harta. Untuk mendapatkan harta, kaum muslim harus bekerja, atau melakukan tindak-tindak yang dibolehkan oleh syara’, misalny amenjadi makelar, berdagang, dan lain-lain.
Islam juga telah mengatur karakteristik kepemilikan harta. Ada harta-harta yang termasuk kategori kepemilikan individu, umum, dan negara. Individu kaum muslim tidak boleh menguasai asset-aset milik umum. Contohnya, perusahaan swasta dilarang memiliki, atau mengelola pertambangan-pertambangan yang depositnya melimpah, seperti apa yang dilakukan oleh penguasa-penguasa muslim yang memprivatisasi asset-aset umum. Tindakan semacam ini merupakan penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum syari’at. Walhasil, paham kebebasan kepemilikan merupakan paham sesat yang bertentangan dengan Islam.
Demikianlah, anda telah kami terangkan kesalahan-kesalahan persepsi barat mengenai kemerdekaan (kebebasan).
Semua ini menunjukkan bahwa jargon-jargon kebebasan ala barat merupakan jargon sesat yang tidak pernah bisa diwujudkan dalam kenyataan. Semua statement mereka adalah statement kosong yang tidak mungkin bsia diterapkan dalam tataran realitas.
Kembali Kepada Aturan dan Sistem Allah
Walhasil, membangun peradaban manusia dengan bertumpu kepada dua ideologi khayal –kapitalisme dan sosialisme— hanya akan membenamkan manusia pada jurang kehancuran dan kerusakan. Negeri-negeri Islam yang berdiri di atas paham nasionalisme, dan menerapkan paham-paham kafir barat –ala demokrasi, liberalisme dan HAM— tidak akan pernah bisa mentransformasikan dirinya menjadi negara yang maju. Mereka juga tidak akan mungkin bisa menjadi ummat wahidah selama mereka masing terkungkung dengan paham nasionalisme dan pranata-pranata posistif barat.
Merdeka dari penindasan penjajah barat harusnya tidak sekedar merdeka secara fisik, lebih dari itu negeri-negeri kaum muslim harus bisa memerdekakan dirinya dari aturan-aturan kufur dan dominasi kaum kafir yang membelenggu dirinya. Sayangnya, negeri-negeri Islam masih didominasi oleh aturan kufur barat, dan penguasanya masih menyandarkan dirinya kepada kafir barat.
Kemerdekaan fisik yang sudah mereka raih tidak boleh diartikan bahwa mereka juga bebas (merdeka) untuk melepaskan dirinya dari aturan Allah. Bahkan, kewajiban bagi mereka yang memiliki kekuasaan adalah menerapkan aturan Islam, dan mengubah sistem pemerintahan yang berlandaskan sistem demokratik barat dengan sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyyah. Selanjutnya, mereka diwajibkan untuk menyatukan negeri-negeri kaum muslim yang telah terpecah belah itu ke dalam satu pemerintahan tunggal, Khilafah Islamiyyah. Selanjutnya mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam dengan dakwah dan jihad.
Selama para penguasa di negeri Islam masih menyandang gelar sebagai kaum muslim mereka diwajibkan untuk hanya mengabdi dan tunduk kepada Allah Swt. Ia tidak boleh menghambakan dirinya kepada aturan-aturan kufur dan orang-orang kafir barat yang tidak henti-hentinya menghisap, dan merampok harta kekayaan mereka. Walhasil, tidak ada lagi kemerdekaan bagi mereka untuk berbuat sekehendak hati. Akan tetapi, mereka diperintahkan untuk selalu terikat dengan aturan Allah swt.
Langganan:
Postingan (Atom)