Bulan Desember tahun kemarin sungguh spesial. Masyarakat Indonesia dikaruniai langsung dengan 3 perayaan besar, yakni tahun baru Islam 1432 Hijriah, tahun baru Jawa 1944 dan tahun baru Masehi 2011. Sudah menjadi tradisi bahwa sesuatu yang bersifat baru dirayakan bersama-sama dengan cara masing-masing. Ada yang mistik, relegius hingga pestapora.
Tahun baru Islam yang dikenal dari Kalender Hijriyah sering dipahami sebagai sesuatu yang terkait dengan semangat agama sehingga perayaannya pun bersifat komtemplatif serta ajakan kembali ke ajaran agama. Apalagi, kalender yang satu ini memang dimulai dengan menyandarkan pada semangat hijrah, atau perpindahan Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah yang banyak dimaknai sebagai sebuah revolusi dari dunia kegelapan menuju dunia penuh sinar.
Tahun baru Jawa dimengerti sebagian orang sebagai peninggalan Hindu dan Budha sehingga akivitas perayaan yang terbangun juga bernilai mistik dan takhayul (superstitious). Kalender yang awalnya berupa tahun Saka dari India ini sampai sekarang diperingati dengan membakar kemenyan, larungan, membersihkan keris dan gamelan, grebegan dan lain sebagainya. Sangat diyakini oleh masyarakat Jawa bahwa aneka aktivitas tersebut merupakan sesuatu yang harus dilakukan bila tidak ingin menerima malapetaka, seperti paceklik pangan dan merebaknya penyakit tertentu.
Lain lagi tahun baru Masehi. Kalender yang sudah menginternasional ini sangat tidak afdol bila menjelang tahun barunya tidak diisi dengan perhelatan yang lebih bersifat party dan hura-hura. Coba saja booking hotel berbintang di malam itu, bisa dipastikan akan sangat susah karena semua orang berduit sedang berhati ikhlas untuk menghabiskan malam dengan membayar mahal. Orang gedongan menganggap pada malam tahun baru tidak ada lagi istilah rugi. Sedangkan bagi kaum papa, tetap saja harus keluar rumah untuk nonton layar tancap, dangdutan hingga hanya begadang sapai larut pagi. Sementara itu para pekerja seni, malam itu akan menjadi waktu yang pas untuk meraup rejeki.
Tradisi tahun baru Masehi telah menjadi sekuler dan dijadikan hari libur di hampir semua negara. Di negeri Garuda Pancasila misalnya, perayaan dilakukan pada malam tahun baru dimana orang berpestaria di Silang Lapangan Monas, jantung kota Jakarta. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirine ditiup, kembang api diledakkan dan orang-orang meneriakkan Happy New Year atau Selamat Tahun Baru lalu menyanyikan Aud Lang Syne. Di Surabaya, orang-orang sekedar ngeriung tanpa hiasan apapun di lapangan luas sekitar Tugu Pahlawan atau Tanjung Perak.
Aneh bin ajaib, telah terjadi kesalahpahaman secara kolektif alias berjamaah, yang akhirnya menimbulkan kegiatan tradisi yang dalam batas-batas tertentu salah kaprah. Ini semua tidak lepas dari keengganan kita untuk menengok sejarah dan terjebak pada tradisi yang hedonistis. Bahkan tiga hari besar tersebut kadang bisa dipertentangkan sedemikian rupa sehingga seolah-olah dapat menyeret manusia ke pinggiran api neraka kelak.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa kalender apapun namanya adalah sebuah produk budaya manusia yang permulaanya dikaitkan dengan kejadian tertentu yang tujuan utamanya agar mempermudah menghitung hari, menentukan tanggal dan hari-hari besar. Bahkan, kalau ditelaah lebih dalam lagi maka tahun baru ketiga kalender yang kita lalui dalam bulan kemarin merupakan produk yang tidak lepas dari sentuhan-sentuhan religi yang bersifat universal.
Sesuai dengan namanya, maka kalender Hijriyah misalnya disandarkan pada hijrahnya Muhammad ke Madinah yakni tahun 622 M. Nabi sendiri tidak pernah mengikrarkan tahun kepergiannya dari Makkah sebagai awal tahun Islam. Tentunya sang Nabi tidak punya sifat narsis sehigga menghendaki kejadian penting dirinya dalam penyebaran agama diingat semua manusia. Ia pastilah lebih mengedepankan makna daripada simbol.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, baru diusulkan kapan dimulainya Tahun 1 Kalender Islam. Ada yang mengusulkan adalah tahun kelahiran Muhammad sebagai awal patokan penanggalan Islam. Ada yang mengusulkan pula awalnya adalah tahun wafatnya Nabi Muhammad.
Akhirnya, pada tahun 638M (17 H), khalifah Umar bin Khatab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Penentuan awal patokan ini dilakukan setelah menghilangkan seluruh bulan-bulan tambahan (interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1 Muharam Tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622, dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan September 622M.
Yang justru unik adalah kalender Jawa yang lebih merupakan perpaduan budaya Hindu/Budha (India) dan Islam. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram dengan mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Dari sisi itu, tidak mengherankan bila kemudian nama-mana bulan dan lainnya dalam Kalender Jawa menyerupai Kalender Islam. Ada Sapar, Mulud, Jumadil Awal dan sebagainya. Bahkan, kalau diteliti, semua hari dalam bahasa Indonesia merupakan transliterasi dari bahasa Arab yakni Ahad, Isnain,Tsulasa, Arbia, Khomis, Jumuat dan Sabt (sabat).
Menurut beberapa literartur, Dekrit Sultan Agung teresbut kemudian berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II: seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten,Batavia dan Banyuwangi (Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.
Nah bagaimana dengan Kalender Masehi? Dari angle kelahirannya tampak cukup jelas dan tidak bisa dinafikan adanya semangat untuk melahirkan suatu budaya menghitung hari yang berakar pada kelahiran Yesus yang mereka hormati. Apalagi, kelahiran Al-Masih tersebut juga sering dimaknai sebagai suatu pengejawantahan dari nilai-nilai perdamaian serta unsur menepati janji.
Awal kalender ini merujuk pada tahun yang sering dianggap tahun kelahiran Nabi Isa Al-Masih, karenanya disebut Masehi, Masihiyah atau Yesus dari Nazaret. Di sisi lain, tahun-tahun sebelum itu disebut Sebelum Masehi (SM). Meskipun tahun 1 dianggap sebagai tahun kelahiran Yesus, namun banyak ahli sejarah menyangsikannya. Perbedaan tersebut berkisar dari 18SM hingga 7SM.
Berbeda dengan Kalender Hijriyah yang menyadarkan diri pada hitungan putaran bulan, Kalender Masehi merujuk pada Kalender Gregorian. Sistem penanggalan Gregorian adalah sistem penanggalan yang berdasarkan pada siklus pergerakan semu Matahari melewati titik vernal equinok dua kali berturut-turut, yang lamanya rata-rata adalah 365, 242199 hari. Titik vernal equinok adalah titik semu pada lintasan eliptika tempat Matahari melewati atau tepat berada pada garis ekuator langit (perpanjangan garis ekuator Bumi), yang terjadi sekitar tanggal 21 Maret. Oleh karena penyesuaian dengan pergerakan semu Matahari inilah, satu tahun dalam kalender Gregorian lamanya 365 hari.
Dari berbagai uraian di atas, sangat beralasan bila orang Indonesia harus bersyukur memiki momentum tripartit tahun baru dalam kurun waktu kurang dari satu bulan karena ketiga-tiganya ternyata root causes-nya sarat nilai-nilai religi. Kalender Jawa dan Islam membawa semangat perubahan dan revolusi dari satu kondisi jahiliyah menuju zaman penuh makna. Sedangkan Kalender Masehi menebarkan perdamaian dalam kehidupan umat manusia.
Terlebih lagi, pengguna ketiga kalender tersebut adalah mayoritas masyarakat Indonesia. Kalender Jawa digunakan oleh orang Jawa yang jumlahnya paling banyak. Kalender Islam oleh warga muslim yang lebih dari 90 persen warga, sedangkan Kalender Masehi dipakai semua orang tanpa kecuali.
Bila memang demikian adanya, adakah sesuatu yang patut dipertentangkan antara satu dan lainnya. Adakah nilai-nilai paradoks dari ketiganya yang membawa kebangkrutan peradaban manusia Indonesia. Padahal baik Nabi Muhammad maupun Al-Masih tidak pernah memberikan pengajaran agar sepak terjangnya diperingati dengan cara-cara khusus. Dalam batas-batas tertentu, kalender bukanlah sebuah ajaran agama (keyakinan) namun sekedar budaya yang mempermudah kehidupan manusia.
Namun yang lebih penting dari sekedar mempertentangkan satu dan lainnya adalah terkait dengan perayaan tahun baru itu sendiri. Melihat aspek kelahiran ketiga kalender yang sangat sarat dengan nilai religi itu, apakah dapat dibenarkan cara memperingatinya dengan kegiatan yang bertentangan dengan nilai agama (hijrah dan perdamaian), apalagi dalam bentuk hura-hura tanpa makna meskipun diketahui dengan jelas bahwa esuk hari aneka tantangan hidup tidak akan terselesaikan?.
Ataukah, pada akhir tahun ini kita lebih baik sama-sama berkomitmen melakukan analisa SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) tahun depan lalu mendesign planning terpadu untuk menyiasatinya? Dengan demikian tidak ada lagi dampak krisis finansial global dan gejolak politik, berkurang tingkat kemiskinan, semua anak bangsa bisa menikmati pendidikan, serta kesehatan masyarakat meningkat dengan pesat!.
Ah, semua itu pasti sangat mudah sekali jawabaannya, atau kalau benar-benar memang Anda belum tahu, cukuplah bertanya pada rumput yang bergoyangt
Posted via email from luxsman