Beberapa hari lalu saya menerima
incoming call dari teman sekolah dulu, kebetulan dia memiliki pekerjaan yang tak perlu keluar jauh dari kampung halaman, Surabaya. Dalam pembicaraan via telepon sekilas dia menceritakan tentang keadaan Surabaya hari-hari belakangan ini yang agak lumayan
crowded dibanding hari-hari biasanya. Kalau kita lihat memang masa-masa liburan telah usai, namun ternyata bukan saja hanya masa liburan itu yang mampu membikin Surabaya menjadi agak ramai, namun sehubungan dengan bulan menjelang Puasa inilah yang mengakibatkan itu semua terjadi.
Sya'ban adalah nama bulan sebelum Ramadan atau orang Jawa lebih mengenalnya sebagai
Wulan Ruwah sebelum menginjak
Wulan Pasa. Disebut sebagai
Wulan Ruwah menurut sumber yang saya ketahui karena memang ada yang bilang bahwa pada bulan ini sangat tepat sekali jika kita manusia yang masih diberikan hidup oleh-NYA didunia ini memanjatkan do'a agar arwah yang telah mendahului diberikan tempat yang layak disisi-NYA. Selain itu ada pula yang meyaqini sebuah paham bahwa bulan
Ruwah adalah sebagai saat turunnya arwah para leluhur untuk mengunjungi anak cucu di dunia, hal ini lebih sering disebut dengan istilah
mudhunan dan
munggahan. Karena itulah saya masyarakat Jawa mengenal tradisi yang bernama
'nyekar' dan atau
"nyadran".
Nyekar, dinamakan
nyekar karena sebagaimana kata sekar yang berarti kembang/bunga, maka definisinya adalah sebagai satu bentuk tradisi pengiriman bunga yang ditujukan kepada nenek moyang dan arwah leluhur yang telah mendahului kita. Sementara
nyadran, adalah satu bentuk tradisi layaknya kenduri, yaitu sama-sama menggunakan uba-rampe (sarana) tertentu yang biasanya berujud makanan (besekan), hanya saja yang membedakan adalah mengenai pengambilan lokasi yang biasanya dianggap keramat dan dipercaya masyarakat lokal bisa makin mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Biasanya pengambilan lokasi itu berupa makam leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi syiar agama. Sementara makanan yang biasanya musti ada adalah berujud ketan, kolak, serta apem.
Pada Bulan
Ruwah, mengenai tradisi nyekar mungkin bisa dilakukan tanpa ada catatan yang menentukan sebuah waktu (hari), jadi kapan saja berkehendak nyekar selama masih pada bulan
Ruwah maka tak ada larangan untuk melaksanakannya. Agak lain halnya dengan tradisi
nyadran, karena melibatkan banyak orang maka tradisi
nyadran ini biasanya dilaksanakan berdasar waktu yang sudah ditentukan secara turun temurun. Waktu pelaksanaan
nyadran biasanya dipilih pada tanggal 15, 20, dan 23 bulan Ruwah.
Kalau diatas adalah pemaparan mengenai perbedaan antara
"nyekar" dan
"nyadran", maka sebagai inti kesamaan pada dua bagian itu adalah "sama-sama memanjatkan doa kepada Allah SWT agar diberi keselamatan dan kesejahteraan dengan cara berziarah kubur juga."
Menurut sejarah,
'nyadran' adalah sebuah kata berasal dari bahasa Sanskerta
“sraddha” yang artinya keyakinan, percaya atau kepercayaan. Tradisi ini awalnya timbul sejak jaman Majapahit dimana Ratu ketiga kerajaan Majapahit, yaitu Tribuwana Tunggadewi berkeinginan pergi ke pengabuan Ibunya (Sri Gayatri) di Candi Jago guna mengirim do'a. Dan ternyata setelah masuk eranya Walisongo hal ini masih bisa dilanjutkan karena masih dalam wacana berziarah dan mendoakan orang tua.
Hal diatas akhirnya diselaraskan menurut waktu yang ada yaitu pada bulan menjelang Puasa (Ruwah), dengan alasan bahwa kesemuanya itu juga bakalan ada kesinambungannya dengan bulan suci yang akan dilaluinya.
Sekali lagi dengan berziarah kubur pun secara tak langsung kita turut mendoakan arwah para leluhur yang telah tiada agar memperoleh tempat yang layak disisi-NYA dan diampuni segala kesalahannya sewaktu didunia. Artinya pada bulan
Ruwah ini dilakukan kegiatan yang mana kegiatan tersebut merupakan tindakan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Dari sikap semacam inilah maka ada satu maksud bahwa tindakan tersebut adalah juga merupakan sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun. Dan juga penyadaran pribadi bahwa kita ini pun nantinya bakalan menemukan kematian, sampai seberat apakah bekal yang sudah kita gendong..? sejauh apakah jalan lurus yang tanpa belak-belok ini terlewati...? Semua pertanyaan ini hendaknya mampu membuat kembali pada penyadaran pribadi.
Demikian adalah sedikit coretan saya tentang tradisi
nyadran dan
nyekar pada bulan Ruwah.
Secara pribadi saya tak terlalu mempermasalahkan apalagi menyalahkan apabila ada dari temen-temen tercintaku semuanya disini menganggap bahwa ini adalah perbuatan syirik dan mengada-ada. Itu adalah hak anda dalam menjalankan sebuah demokrasi di negeri tercinta ini.
Yang pasti saya pun mencoretkan ini semua bukan tanpa alasan. Sungguh alangkah bahagianya saat nilai tradisi dan budaya lokal ini mampu kita jaga tanpa harus terpengaruh negara luar baik itu Arab ataupun Barat. Budaya kita tetap adiluhung dan identitas diri pun tak takut untuk tergadaikan.
Sementara ini semua sepertinya juga tak menyimpang dan masih relevan apabila diterapkan saat ini, dimana baik tradisi nyekar ataupun tradisi nyadran keduanya tak hanya bermuara pada karya gotong royong dan kebersamaan dalam membersihkan makam leluhur semata, ataupun selamatan dengan kenduri lalu makan-makan kue apem ,ketan , dan kolak saja. Namun lebih dari itu, nyadran ternyata mampu dijadikan ajang silaturahmi, alat perekat sosial tanpa harus terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, agama, golongan, atau apapun yang hanya mendogmakan kita pada kebenaran secara subyektif.