Bermain berbaur laki-perempuan, pada usia tertentu justru menjadi kebutuhan bagi setiap anak. "Bimo... jangan main boneka. Itu mainan anak perempuan. Nanti kau jadi perempuan, lho..." begitu ibu Bimo mengingatkan balitanya.
Ditengarai oleh para pakar, perbedaan peran antara dua jenis kelamin, laki-laki dengan perempuan, mulai dibentuk semenjak dini, oleh dua faktor penentu. Pertama adalah dari diri mereka sendiri, yaitu perbedaan kadar hormonal yang ada di antara kedua jenis kelamin. Kedua adalah faktor lingkungan, baik orang tua, teman maupun orang-orang di sekitarnya.
Perbedaan kadar hormonal menyebabkan adanya karakter sifat yang khas antara laki-laki dan perempuan. Karakter ini sudah akan nampak dengan sendirinya dan merupakan bawaan semenjak lahir. Misalkan, keinginan menonjol, mandiri, melindungi dan agresif adalah karakter maskulin. Sementara emosi, kelembutan, kepasifan dan rasa iba adalah beberapa dari ciri karakter feminin.
Selanjutnya menetap atau tidakkah karakter khas ini, masih akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Artinya, pengaruh faktor lingkungan dapat menyebabkan penetapan sifat-sifat khas itu, namun sebaliknya dapat pula menyebabkan sifat-sifat tersebut menjadi hilang.
Dari sekian banyak pengaruh lingkungan yang ada, maka orang terdekat di masa kecil akan mengambil peran pengaruh yang terbesar. Umumnya dan sudah seharusnya pula, peran ini dipegang oleh ibu dan ayah. Orang-orang inilah yang selanjutnya lebih menentukan pembentukan peran seksual anak hingga dewasa kelak.
Ibu Bimo pun telah melakukan hal ini, dengan mengarahkan anak laki-lakinya untuk hanya memilih permainan-permainan yang sesuai dengan kelaki-lakiannya. Sang ibu khawatir jiwa kelaki-lakian Bimo bisa luntur jika suka bermain bersama atau seperti anak perempuan.
Seorang wanita yang tumbuh menjadi remaja tomboy dan kelaki- lakian, bisa jadi dikarenakan ibunya membiasakan si anak selalu mengenakan celana panjang di masa kecilnya dan membiarkan si anak menghabiskan waktunya bermain bersama teman-teman laki-laki. Atau sebaliknya ada laki-laki yang memiliki karakter sifat keibuan bukan karena hormon yang ia miliki, tetapi semata karena terbiasanya ia bermain bersama teman perempuan semasa kecilnya.
Jelaslah, pengaruh peran orang tua cukup banyak menentukan pembentukan sifat anak untuk seterusnya. Maka orang tua perlu hati-hati dalam memberikan pendidikan seksual semenjak kecil. Dalam uraian kali ini kita akan membahas mengenai batasan-batasan pola didikan perbedaan laki-laki dan perempuan di masa kanak-kanak. Batasan ini tidak harus terlalu kaku, tetapi juga jangan terlalu longgar. Di manakah posisi yang paling tepat?
Sebenarnyalah, pada dasarnya setiap manusia memiliki kecenderungan karakter biseksual. Bila karakter sifat manusia dibedakan antara maskulin dan feminin, maka pada diri setiap manusia tak ada yang maskulin 100 % maupun feminin 100 %.
Kadar karakter ini berbeda-beda dimiliki oleh setiap orang. Mereka yang lebih menonjol maskulinitasnya maka akan lebih menampakkan sifat-sifat kelaki-lakian. Sementara yang bersifat feminin berarti feminitasnya lebih menonjol, tetapi bukannya berarti tak memiliki maskulinitas sama sekali.
Tentu saja teramat sulit untuk mengetahui berapa kadar yang pasti karakter sifat yang ada pada diri seseorang. Selain karena begitu beragamnya corak sifat yang akan dinilai, juga standar klasifikasi antara maskulin dan feminin itu sendiri belum memiliki patokan yang bisa dijadikan pedoman.
Hanya saja kita memiliki konsep secara umum mengenai perimbangan terbaik yang semestinya dibentukkan kepada anak- anak. Konsep ini menyebutkan, bahwa kepribadian terbaik akan dihasilkan dari mereka yang kadar maskulinitas dan feminitasnya cukup berimbang. Istilah berimbang di sini bukan berarti fifty-fifty. Tetapi berimbang sesuai kondisi. Bagi laki-laki karakter maskulin diutamakan tetapi tetap memiliki karakter feminin. Begitu pula sebaliknya bagi perempuan, lebih ditonjolkan karakter femininnya tanpa kehilangan karakter maskulin dalam kadar cukup.
Kelak, dalam kehidupan ini yang diperlukan adalah kepribadian yang lengkap. Seorang laki-laki yang menjadi pemimpin selain memiliki sikap keras dan berani, tetap memerlukan sedikit kesabaran dan belas kasihan. Begitu pula kaum wanita yang berada di dunianya yang penuh kelembutan dan kasih sayang pun memerlukan keseimbangan rasio dan akal pikiran agar dirinya bisa berkembang.
Pribadi yang lengkap.
Seperti apakah kepribadian yang lengkap itu? Gambaran pribadi seorang ayah bernama Fahry dalam kisah berikut akan cukup memberikan gambaran. Laki-laki muda ini adalah sosok ayah yang bisa mengerti kondisi istrinya. Bisa membimbing dan mengarahkannya dengan baik dan tepat.
Di tengah tumpukan tugas kantor yang tak pernah berhenti, Fahry selalu menyempatkan diri menengok urusan rumah tangga yang dikerjakan Rini, istrinya. Hampir setiap hari, ia sempatkan mengerjakan sedikit dari tugas istrinya itu. Mungkin suatu pagi ia turut memandikan kedua anak mereka. Di pagi yang lain ia mendadar sendiri telur untuk sarapannya. Mengisi termos, membuat sendiri minuman hangat, bahkan sesekali menggoreng kerupuk di sore hari, ia lakukan dengan senang hati. Dalam kondisi terjepit, misalkan ketika istrinya sangat sibuk atau lelah karena anak sakit, atau bayi mereka rewel, Fahry pun lebih ringan tangan untuk turut menjemurkan cucian, bahkan mencucikan popok sang bayi.
Tentu saja tidak setiap hari ia memiliki kesempatan untuk melakukan itu. Jika dalam suatu hari tidak ia peroleh kesempatan itu, cukuplah ia sekadar menengok istrinya yang sedang sibuk di dapur, menanyakan menu masakan pagi itu, atau sekadar membantu membawakan piring ke meja makan.
Ayah seperti Fahry mau dan bisa mengerti dunia istrinya. Bisa memberikan perhatian dan motivasi bagi sang istri. Apabila dimintai pendapat pun bisa memberikan pertimbangan sekadarnya. Istri yang memiliki suami seperti ini jelas akan lebih berbahagia dari pada mereka yang memiliki suami yang terlalu cuek pada dunia istri.
Sebaliknya, istri yang seimbang pun berarti istri yang memiliki kadar maskulinitas dalam porsi cukup pula. Istri seperti ini akan bisa mengerti dunia laki-laki, dunia suaminya. Ia bisa mengerti pola pikir laki-laki dan memiliki gairah pula untuk membicarakan banyak hal yang disukai laki-laki. Ia memiliki semangat kerja tinggi, wawasan pikirnya luas, kreatif dan menyukai tantangan. Pribadi seperti ini mempunyai kans besar untuk bisa maju dalam bidangnya.
Tipe orang-orang yang seimbang seperti ini akan lebih mudah mengelola dengan baik kehidupan rumah tangganya, karena ada gairah untuk mengerti dan memahami dunia lawan jenisnya.
Pembentukan pribadi-pribadi yang seimbang ini, sangat besar ditentukan oleh pola asuh yang diberikan kepadanya di masa kecil. Orang tua harus mampu memberikan kesempatan pengembangan sifat maskulin dan feminin secara seimbang kepda anak-anak. Seperti apakah keseimbangan itu?
Pertama, beri kesempatan anak-anak untuk berbaur bermain bersama tanpa membedakan jenis kelamin di usia mereka yang masih di bawah sepuluh tahun. Ini penting, agar anak-anak itu bisa mengerti secara langsung seperti apakah karakter dan sifat lawan jenisnya.
Anak tidak akan bisa mengerti hanya dengan mendengarkan cerita bahwa laki-laki itu fisiknya lebih kuat, atau bahwa perempuan itu perasaannya lebih peka. Anak baru akan mengerti jika bukti nyata mereka rasakan langsung. Dan ini hanya akan mereka peroleh jika mereka diberi kesempatan bergaul secara berbaur.
Anjuran untuk bermain dengan teman sesama jenis kelamin bisa tetap kita berikan, tetapi tidak perlu dibatasi pergaulannya terlalu ketat. Kebiasaan-kebiasaan masing-masing jenis kelamin bisa diajarkan tetapi tetap dengan memberi kesempatan mereka untuk merasakan kebiasaan lawan jenisnya.
Cara berpakaian, misalnya. Membiasakan anak perempuan memakai rok kita lakukan, tetapi juga kita beri kesempatan mereka bercelana dan berkaus seperti anak laki-laki sewaktu-waktu. Karena dengan bercelana, lebih memungkinkan anak untuk melakukan berbagai kegiatan maskulinitas, seperti berlarian, memanjat maupun bersepeda. Anak perempuan pun perlu dirangsang melakukan kegiatan-kegiatan ini, walau porsinya tidak sebanyak laki-laki.
Begitu pula anak laki-laki pun baik pula dibelikan boneka, untuk menumbuhkan femininitas mereka. Tentu tidak dengan menggendong-gendongnya seperti anak perempuan, tetapi mungkin dengan meletakkan boneka tersebut di atas mobil-mobilan mereka layaknya penumpang. Atau dijajar di kursi pura-pura dijadikan murid. Sesekali bolehlah mereka bermain pasar-pasaran, asal tidak terus-menerus.
Pola permainan yang dilakukan anak secara perlahan akan memberi bentuk kepada kepribadian mereka. Begitu pula kesempatan untuk bergaul secara berbaur akan lebih memungkinkan anak tumbuh menjadi pribadi seimbang. Dengan kesempatan ini anak laki-laki akan mengerti ketika kerasnya pukulan tangan mereka membuat teman putrinya menangis. Selanjutnya menumbuhkan pengertian, pemahaman dan simpati dalam dirinya terhadap sifat keperempuanan yang tidak ia miliki ini.
Ketika usia anak menginjak sepuluh tahun, cukuplah saatnya mereka dipisahkan pergaulannya. Walaupun syariat hijab belum wajib bagi mereka, memang usia ini sudah saatnya kita mengenalkan dan membiasakan mereka melaksanakannya. Semata agar ketika tiba saat diwajibkannya syariah tersebut atas mereka sudah ada kesiapan sebelumnya.
Namun jangan dulu ditutup kemungkinan anak-anak ini untuk tetap merasakan kegiatan-kegiatan khas lawan jenisnya. Sebelum anak-anak putri ini baligh, mereka masih selayaknya diberi kesempatan untuk memanjat-manjat, balap sepeda dan berbagai macam aktivitas kelaki-lakian lainnya. Asalkan tidak sampai menjadi kesenangan dan kebiasaan saja. Dan juga tidak berlebih-lebihan, disesuaikan dengan kondisi fisik mereka. Yang laki-laki pun perlu diajak membuat kue sekali-kali di dapur, atau diberi tugas menjaga adik sesekali, atau mencoba menjahit bajunya sendiri! Kesempatan inipun masih bisa diberikan hingga tibalah saat akil baligh mereka.
Setelah tiba masa baligh, setiap orang terikat pada syariah untuk menjaga batas pergaulan antara laki-laki dan wanita. Namun masa-masa ini pun masih mungkin dimanfaatkan untuk pembentukan karakter dengan tetap seimbang.
Ada beberapa jenis pekerjaan yang berciri maskulin yang baik untuk diberikan kepada anak-anak putri tanpa harus bergaul berbaur dengan laki-laki. Beri kesempatan mereka untuk memperbaiki sendiri alat-alat yang rusak seperti setrika, kompor maupun mesin cuci. Biarkan juga mereka naik tangga untuk bekerja bakti mengecat dinding, membersihkan ventilasi atau memasang lampu. Sesekali dilatih cara paku-memaku dan palu-memalu pun cukup perlu.
Begitu pula rangsangan-rangsangan kegiatan yang melatih otak untuk tetap berpikir kritis harus diberikan. Di samping menerima pelajaran-pelajaran yang menumbuhkan kelembutan, ketelatenan dan kesabaran, tetap diberikan soal-soal perhitungan dan eksak yang harus diselesaikan.
Bagi yang laki-laki pun sesekali perlu diajak melakukan kegiatan-kegiatan yang mengasah kesabaran dan ketelatenan walau dalam porsi kecil. Kegiatan-kegiatan yang beragam bagi anak-anak ini toh tidak harus dilakukan dengan cara bergaul berbaur, untuk menjaga hijab antara mereka.
keren banget, haha.. ada contohnya pula...
BalasHapussip,maturnuwun
nice post....
BalasHapusAsal jangan kebablasan satu sama lain dan tetap dominan pada kodrat masing-masing...
Tulisan yang mencerahkan, semoga bisa jadi referensi bagi yang masih punya balita...
BalasHapuspanjang banget ... mampir tok ahhh
BalasHapuskalau lelaki sejak kecil diajarin "kerjaan2" cewek, dia akan tetap menjadi cowok kan?
BalasHapushe he he he, tapi bagaimana dengan waria ya? jadi bingung
ulasan yang bagus brodulu juga pernah Q baca waktu baru posrting ini tapi belum sempat ngomen :Dsedang bersih2 blog
mbacanya sampe abis 1 botol aqua minumnya karena sangking panjangnya dan tak ingin terlewatkan :D hehe..
BalasHapusmantab kang utuk pembelajaran anak laki2
BalasHapussaia belum punya, jadi bingung mo pinjam anaknya siapa ya?
BalasHapusbagus.. untuk pasangan suami istri yg baru punya momongan, harus baca ini , hehehe..
BalasHapusjadi si empunya blog ini maybe bentar lagi.. *piip*
hehehehe..
wow makasih yah tips nya *keren*
BalasHapussemoga para aktivis jender mbaca ini
BalasHapus