Sabtu, 01 Mei 2010

Heroisme Abad 21

BULAN Mei tahun ini bagi Indonesia tidak sekadar gempita Kebangkitan Nasional. Mei tahun ini sangat istimewa. Ia adalah juga 12 Tahun Reformasi. Hari Buruh Internasional. Hari ini 2 Mei bahkan hari Pendidikan Nasional yang diperingati di mana-mana. Mei yang istimewa ini tentu tidak lepas dari satu kata : Pahlawan.

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mengenang pahlawan? Apakah dengan memandang deretan gambar setengah badan di dinding sekolah yang diterakan nama besar di bawahnya, lantas menimbulkan decak kagum, sembari berharap, ” Tuhan, jadikan aku seperti beliau”. Gambar-gambar itu seolah saksi bisu tentang keterasingan. Pada jamannya orang rela menyerahkan miliknya bagi kepentingan perjuangan bangsa yang dihembuskan oleh pahlawan. Apakah mengenang pahlawan juga mengingatkan kita pada heroisme yang dibangunnya manakala ia berjuang melawan kesewenang-wenangan dan kelaliman?

Tiap bangsa terjajah pasti mempunyai pahlawan. Nama mereka begitu lekat di hati rakyat, utamanya di daerah asal sang pahlawan. Mengingat pahlawan berarti mengingat keberanian melawan despotisme kaum kolonial. Mengingat pahlawan sama dan sebangun dengan mengenang orang kecil melawan orang besar, orang ”lemah” melawan orang kuat.

Cerita kepahlawanan akhirnya mempertautkan kondisi sekarang dengan masa lalu. Betapa jarak puluhan bahkan ratusan tahun, terasa jadi dekat. Dalam memori kita terbayang heroisme tiada putus yang mengendap dalam sanubari seorang Christina Martatiahohu, AA Maramis, Rasuna said, atau Bung Tomo dan beberapa nama lain, yang ditulis dengan tinta emas sejarah Indonesia.

Mengenang pahlawan bagai mengenang keberanian yang secara tulus diperjuangkan tanpa tuntutan atau imbalan apa pun. Sebuah instrumen kemanusiaan yang barangkali kini tinggal serpih kenangan belaka. Sebab di jaman ini, keberanian sering dianalogikan sebagai kekonyolan atau ketidaklayakan. Heroisme kini seperti catatan fiksi.

Cerita fiksi dalam dunia kanak-kanak kita, biasa memasukan sosok pahlawan sebagai pemberani sekaligus pembebas suku bangsa tertentu dari tekanan para penindas. Sosok itu umumnya berusia muda, berparas cantik dan gagah, serta rela mengorbankan dirinya demi kepentingan orang banyak. Pahlawan dalam dunia fiksi menyeret anak-anak kepada suatu tahap imajinasi untuk mengembangkan elemen kreatifitasnya. Dengan kata lain membaca, menyimak, dan mengendapkan cerita kepahlawanan dapat menstimulasi anak dapat berbuat mulia sebagaimana dicontohkan sang pahlawan.

Pahlawan dalam berbagai cerita fiksi setidaknya mempertautkan sejumput heroisme kepada pembacanya. Hans Christian Andersen, Enid Blyton, atau Karl May berhasil memberikan sumbangan semangat kepahlawanan bagi pembacanya. Kontribusi mereka tak pelak merangsang anak melakukan tindakan terpuji meski harus mengalami kepahitan dan tekanan lawan.

Citra pahlawan dalam dunia fiksi adalah semacam pertalian budaya yang dihantarkan untuk menanamkan sikap pembelaan diri atas kesewenangan kaum penindas. Perkelahian dan peperangan yang hadir di dalamnya, bukanlah semata-mata karena ia haus kekerasan, darah, dan kemenangan melalui pedang atau senapan. Melainkan sebuah upaya pertahanan diri untuk tujuan mulia. Bukankah ciri menonjol kepahlawanan adalah keberanian? Letaknya pada keberanian. Berani karena benar. Meminjam sastrawan William Shakespeare, pahlawan mati hanya satu kali tetapi pengecut mati berkali-kali.

Pahlawan memang hanya mati satu kali, karena itulah yang diperjuangkannya dan dipertaruhkan dengan utuh dan tanpa ragu. Kebenaran yang dibelanya merupakan harga mati.

Persoalannya kemudian, haruskah ada pahlawan di zaman kini? Masih perlukah pahlawan di zaman yang carut marut ini, ketika atas nama globalisasi manusia digiring oleh kaum kapitalis menuju satu kesamaan? Sosok Pahlawan sering dikaitkan dengan jasanya memperjuangkan kemerdekaan bagi negara ini. Pengertian ini sepertinya sama saja di setiap negara. Lantas ketika kita menginjak masa sekolah, kita mulai berkenalan dengan sosok Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Guru yang mengajari kita bagaimana menulis dan membaca serta yang lainnya, adalah sosok pejuang yang telah membebaskan kita dari belenggu kebodohan. Merekalah pahlawan itu, yang selain tanpa tanda jasa juga tanpa taman makam pahlawan.

Dialog Andreas dengan gurunya Galileo Galilei sebagaimana ditulis Berthold Brecht dalam sepenggal dramanya, menyoal pahlawan menandakan adanya perbedaan titik pandang. Ketika Andreas berkata, “unhappy, the land does no a hero”, (celaka, bangsa yang tidak mempunyai pahlawan), Galileo menjawab, “unhappy, the land needs a hero”, (celaka, bangsa yang memerlukan pahlawan).

Pernyataan Andreas menandaskan suatu keadaan pada sebuah negeri yang banyak dihuni oleh para pengecut. Ke mana pun ia melangkah, sikap kepengecutan teramat biasa terjadi. Dalam situasi seperti itu ia merindukan sosok pahlawan untuk menghentikan serta meniadakan kepengecutan. Sementara jawaban sang guru lebih menekankan kepada suatu keteraturan masyarakat dengan kesadaran budayanya, sehingga kepengecutan tidak mendapat tempat dalam masyarakat.

Betapa pun abstraknya, setiap masyarakat atau bangsa selalu menyanjung para pahlawannya. Biografi pahlawan akhirnya sering dibukukan untuk mengilhami penulisan novel-novel sejarah yang tidak mustahil diangkat ke layar lebar dalam pita seluloid, demikian pula untuk menciptakan lagu-lagu perjuangan. Akan tetapi kultus individu itulah yang nampaknya ditolak oleh Galileo. Bahwa suatu masyarakat yang membutuhkan pahlawan, tersirat keinginan tak sengaja untuk mengkultuskan seorang pahlawan. Karena pahlawan yang didambakan itu harus mampu menyelesaikan kepengecutan di masyarakat.

Pahlawan kerap jadi bagian kesadaran budaya suatu bangsa, kesadaran tentang perlunya pemahaman objektif atas masa lampau sekaligus kesadaran pentingnya memiliki dan memelihara symbol-simbol kebesaran masa lampau suatu bangsa. Di sinilah barangkali perlunya cerita-cerita kepahlawanan bagi suatu bangsa.

Namun simbol kepahlawanan bisa berubah menjadi mitos, ketika simbol itu dijadikan sebagai sesuatu yang sangat penting serta mengabaikan fakta-fakta histories. Simbol berubah jadi mitos (dan bersifat abstrak) jika cerita kepahlawanan disandarkan pada kepentingan kultus.

Pahlawan mengalami dekonstruksi nilai karena pengaruh kepentingan politik atau status sosial di masyarakat. Tidak aneh jika seorang jendral berbintang atau orang ternama ketika mengungkap genealoginya, mencangkokan nama seorang pahlawan pada suatu masa. Biasa juga dinisbatkan pada seorang raja pada masa kerajaan Hindu Jawa. Gejala yang menimpa masyarakat Jawa khususnya, setidaknya susah mengelak untuk menjelaskan perlunya seorang pahlawan yang merangkai silsilah dirinya.

Pada kondisi ini, pahlawan yang semula jadi simbol sebuah perjuangan dan kebenaran, berubah jadi mitos. Dan dengan demikian pahlawan berakhir hanya pada sebuah cerita fiksi. Kini, mungkin saja sosok pahlawan telah hadir kembali dalam dunia dewasa kita dan jatuh kepada bagian mitologi (fiksi, abstraksi) dari kesadaran budaya kita.

Kebenaran yang diperjuangkan pahlawan serta keberanian yang ditampilkannya sebagaimana mitologi dan fiksi, menjadi dambaan kesadaran budaya kita yang (boleh jadi) cukup jauh dari nilai kebenaran dan keberanian. Maka ditempuhlah jalan mudah secara mengaitkan asal usul kita kepada seorang pahlawan. Apalagi tujuannya selain untuk memperoleh simpati masyarakat, kekaguman dan status sosial, bahwa kita tidak lain adalah keturunan kesekian seorang pahlawan.

Padahal sesungguhnya upaya merangkai genealogi kita kepada seorang pahlawan tidak lain merupakan sepenggal sikap pengecut atau ketidakberanian menyatakan fakta hostoris yang objektif mengenai asal usul kita. Beranjak dari pemikiran ini, apakah pahlawan hanya milik orang ternama dan berpengaruh saja?

Dekonstruksi pahlawan dari kenyataan objektif sejarah menjadi mitos dan fiksi itu hanya layak terjadi pada suatu masa tatkala kedudukan seseorang di masyarakat amat ditentukan oleh kebesaran nama leluhurnya. Secara psikologis, orang yang biasa menyandarkan diri kepada leluhurnya adalah orang yang tak siap berkompetisi meraih kedudukan. Mereka hanya kagum dan terpenjara pada kebanggaan masa lalu. Kekaguman dan kebanggaan semu yang sebenarnya tidak ia amati. Kebanggaan itu bukan ia jalani, namun sekadar disodorkan kepada khalayak.

Jika sikap demikian terpatri, apa bedanya kita dengan anak-anak ketika mendengar, membaca, dan menyimak kisah pahlawan? Pahlawan berikut perjuangan yang dipersembahkan bagi bangsanya bukan semata-mata untuk mencipta kebanggaan. Akan tetapi ia mewariskan keberanian membela kebenaran dengan segala risikonya. Nilai itu menjadi nilai yang sah suatu bangsa, bukan milik sekumpulan keluarga.

Kini jumlah pahlawan melonjak. Dari arena olah raga, dunia musik dan film, tak pelak melahirkan pahlawan yang dominan oleh rasionalitas teknologi. Pahlawan yang sesungguhnya, pahlawan yang dilahirkan untuk berperan dalam sejarah dan perubahan suatu bangsa, makin sedikit jumlahnya.

Begitu jauhkah kita dari semangat kepahlawanan? Hormatkah kita kepada pahlawan bila hanya mewarisi kekaguman perjuangannya? 10 Nopember setiap tahun kita peringati Hari Pahlawan. Bermula dari perjuangan yang tak kenal takut di Surabaya 1945, kita jadikan momentum sejarah dan fakta historis.

Mitologi, fiksi, abstraksi dengan demikian merupakan dekonstruksi pahlawan. Jika sudah demikian, jangan-jangan dari kuburnya yang damai, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Soedirman, dan semua pahlawan berkata, “Sia-sia aku menjadi founding father bangsa ini apabila sekadar dijadikan rasa kagum serta kebanggaan saja”.

2 komentar: