Minggu, 05 Juli 2009

NKRI & Otonomi Daerah, Sempit Di Mata Capres

Untuk Putaran Ketiga Debat Capres tanggal 2 Juli kemarin, mensuratkan pandangan sempit ketiga Capres memandang Demokrasi, NKRI dan Otonomi Daerah, baik dalam mengenali masalah dan menanggapinya. Ketiga Capres memaknai NKRI pada batasan ruang juang, bukan ruang hidup bangsa. Sementara Otonomi daerah dipahami sebatas urusan administratif, bukan sebagai sebuah realita sosio-ekologis Indonesia sebagai negara kepulauan, sekaligus negara kelautan terbesar di dunia. Saya sangat prihatin dengan kualitas ketiga Capres memandang Demokrasi, NKRI dan Otonomi Daerah pada debat capres 2009, putaran terakhir. Politik pencitraan menjadi suguhan ketimbang gagasan politik mencerdaskan para capres terhadap NKRI, Demokrasi dan Otonomi Daerah.

Pendangan tersebut telah melandasi perjalanan masa reformasi, yang menunjukkan kualitas demokrasi dan lingkungan makin memburuk, gagal menjawab masalah-masalah terkini. Ini terlihat dari data pemerintah yang mengumumkan sejumlah 318 Daerah Aliran sungai (DAS) yang luasnya 3 juta hektar, kini seluas 2,7 dalam kondisi sangat kritis dan rusak berat. Dan tak mendapat perhatian pemulihan. Juga catatan penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tak kalah buruk. Sepanjang 2008, Komnas HAM, menerima 4000 kasus pengaduan, 60% nya terkait konflik agraria dan sumber daya alam.

Harusnya para Capres berkaca dari Papua. Papua adalah potret ambisi para Capres menegakkan NKRI dan Otonomi daerah. Otonomi khusus yang memberi mandat memajukan penduduk asli Papua menuju sia-sia, karena tidak diikuti implementasi yang jelas. Akibatnya Otonomi KHusus malah diikuti meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, juga pelanggaran HAM tak yang nyaris tak kunjung berhenti, hingga Pemilu 2009 berlangsung.

Pandangan sempit terhadap NKRI dan Otonomi daerah ini, juga terlihat pada kinerja legislatif, yang didominasi partai berkuasa. Indonesian Parliamentary Center (IPC) mencatat kinerja DPR Senayan, pada 2008 dalam mengesahkan 44 UU, dimana mayoritas terkait dengan pemekaran wilayah. Hanya dua UU yang langsung berkaitan dengan pemenuhan hak-hak rakyat, yaitu UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Belakangan, sejumlah UU Pemekaran Wilayah tersebut menjadi kran baru pembalakan hutan liar, perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.

Para Capres menyebut Otonomi daerah dan pembangunan demokrasi dilakukan untuk mencapai cita-cita mulia, yakni sebuah NKRI. Tak satupun Capres yang mengaitkan masalah NKRI dan Otonomi Daerah dengan keselamatan dan produktifitas rakyat. Jika melihat fakta-fakta lapang diatas, pandangan tersebut jargonis, bagai jauh panggang dari api.

Debat kali ini. Lagi-lagi belum dapat menjelaskan tentang visi dan misi para Capres. Hal ini bisa diartikan dua hal, pertama; ketidakmampuan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan sebuah debat yang mampu membongkar gagasan para capres serta kedua; lemahnya visi dan misi para capres untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa untuk lima tahun yang akan datang.

Dalam pengamatan saya pada tiga putaran debat Capres yang diselenggarakan KPU. Para capres harus segera menapak bumi, mengurus Indonesia ke depan tak hanya sebatas jargon yang meninabobokan rakyat. Juga bukan sebatas semangat juang heroik masa kemerdekaan mempertahankan NKRI. Lebih dari itu, mengurus NKRI adalah kecakapan dan perlakuan yang adil mengurus keberagaman pulau, yang melahirkan keberagaman agama, suku, pilihan ekonomi dan pandangan politik - dalam wujud otonomi. Ekonomi kerakyatan berbasis kepulauan adalah jawaban kebuntuan ekonomi nasional, yang sayangnya tak dilirik para Capres.

Melihat kualitas paparan dalam debat tiga putaran, ketiga Capres dipandang belum memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai untuk akselerasi pencapaian cita-cita bernegara. Untuk itu, ada baiknya seluruh rakyat Indonesia terus menghasilkan konsep tanding, memperbesar nilai-nilai kemandirian dan solidaritas guna menyelamatkan demokrasi dan NKRI agar tetap tegak pada masa-masa yang akan datang.



8 komentar:

  1. memang susah kalo punya pres yang tidak intelek .. suedih wes...

    BalasHapus
  2. memang sepertinya mereka masih hanyut dalam mimpi kemudahan menjadi presiden di waktu yang lampau... kekekke

    BalasHapus
  3. menurut saya, sebenarnya pemimpin itu harus bisa menepati janji. bukan hanya menebar omongan dan janji2 belaka. yang paling menyedihkan, waktu kampanye knp mereka (capres dan wapres) saling menggunjing alias saling meng olok2, walau bahasa yg di gunakan cukup halus ^_^. tapi bukankah itu sama dengan seperti anak2 yg memperebutkan mainan? hadoh2 moga aja sapa yg terpilih nanti bisa menjadi panutan bagi warganya.....

    BalasHapus
  4. presiden RI 2009, sapa pun nanti , mugi mugi waras dan eling lan waspodo

    BalasHapus
  5. wis caprese gak intelek, dpre yo podo wae
    habislah sudah negeri ini... (doh)

    BalasHapus
  6. tapi lebih baik ada pemimpin daripada tidak sama sekali ya kan bung...hehe selamat sore

    BalasHapus
  7. Marilah kita support siapapun Presiden kepilih yang penting satu putaran (hemat 4 trilyun)

    BalasHapus
  8. Wah soal politik giniansaya masih cetek, tapi rasanya kok tetep semrawut ya? apa jangan-jangan saya yang semrawut...???

    BalasHapus