Kamis, 07 Mei 2009

Antenge Mikir

JIKA sekali waktu njajah desa milang kori ke pelosok melihat dari dekat kehidupan wong cilik, banyak hal yang akan membuat kita trenyuh. Meskipun tanah Jawa sudah menangi rejaning jaman, ternyata banyak nasib mereka yang belum berubah. Hidupnya tetap sederhana. Puluhan tahun jadi tani-utun, buruh nggarap sawah orang lain di desanya. Rumahnya pun masih rumah kayu warisan orang tua. Hanya, hidupnya kelihatan santai, damai, dan bahagia. Tidak kemrungsung. Pagi sebelum ke sawah ngurusi perkutut klangenan-nya lebih dulu. Menambah ketan hitam, mengganti air minumnya, kemudian menggantungkan sangkarnya di teritis. Sudah itu menikmati teh nasgithel di beranda. Nyamikannya ubi rebus. Sambil mengisap rokok tingwe, sesekali metheti, atau nyingsoti, dan puas ketika burung kesayangannya manggung bersahut-sahutan: aur keteg koong koong kong. Jika sudah demikian, ia jadi tampak sangat bahagia, tampak mulia, serasa beban hidup lenyap seketika. Maka, ketika ke sawah manggul pacul pun dia melangkah dengan gagah sambil rengeng-rengeng Mijil, Sinom, atau Dandanggula.

Karena itulah, hingga kini kebiasaan memelihara perkutut terhitung masih mbalung sungsum bagi orang Jawa yang ''nggegegi Jawane''. Seperti halnya memelihara ayam aduan, mancing, udud klembak menyan, nglaras uyon-uyon atau campursari sambil menikmati teh nasgithel, masang wayang kulit idolanya di ruang tamu, dan lain-lain. Meskipun ada juga kegemaran yang kadang menjurus ke hal-hal negatif, seperti judi, dan adu jago, namun klangenan sendiri sering dijadikan obat, atau ''tamba ati'' bagi orang Jawa dalam mencari dan menemukan kenteraman hidup. Atau dengan kata lain, klangenan bukan untuk bersenang-senang saja, melainkan cara untuk memperoleh: padhange pikir, resiking ati, dan warasing jiwa-raga. Contohnya seperti kebiasaan memelihara perkutut itu.

Bagi orang Jawa (di Jawa) bunyi perkutut yang khas bukan saja terdengar indah, merdu, namun juga menenteramkan, memberikan suasana nyaman pada lingkungan. Bahkan tidak jarang mereka menganggap perkutut burung ''sakral'', sehingga menembak burung ini pun dianggap tabu, dan memelihara perkutut dianggap laku olah batin bagi yang bersangkutan. Itulah sebabnya pengakuan nilai perkutut di Jawa kadang bukan hanya berpedoman pada kemerduan suara, keindahan wujud, dan kejinakannya melulu, akan tetapi sudah menggunakan pertimbangan spiritual (rohani). Soalnya, banyak yang percaya jika perkutut dapat memberikan sinyal-isyarat lewat berbagai macam cara atas sejumlah peristiwa kosmis yang sulit dijangkau atau dideteksi akal-budi manusia. Dengan demikian, perkutut seolah dianggap sekumpulan mata facet dari kutub-kutub magnet yang mampu menangkap gejala alam dan memancarkan kembali ke dalam bentuk sederhana dan mudah dipahami secara inderawi oleh pemiliknya.



Maka tidak mengherankan jika sampai hari ini klangenan memelihara perkutut belum terkalahkan oleh tren memelihara burung berkicau, seperti: jalak, cucak rawa, hwabie, poksay, murai, kenari, dan lain-lain. Sebab, jika kicau jalak atau cucak hanya merdu dan memberikan suasana alamiah, anggung-nya perkutut lebih dari itu. Mitosnya tidak jauh berbeda dari suara gagak yang sering jadi tanda akan datangnya kematian atau marabahaya. Mirip suara prenjak yang jadi pertanda datangnya tamu serta rezeki. Setara dengan suara burung malam, seperti kulik dan tu'u, yang suka dikaitkan dengan hantu dan pencuri.

Memelihara perkutut sudah cukup tua, membuat burung ini seakan telah menyatu dengan kehidupan orang Jawa. Buktinya, primbon mengenai perkutut sudah ada sejak berbabad-abad lalu. Seperti ''Katuranggan Oceh-Ocehan'' dari Kasunanan Giri (1478-1670) yang ditulis begitu njlimet. ''Katurangganing Kapal lan Peksi'' yang ditemukan di Kasunanan Bonang (Tuban) ketika ekspedisi Speelman (VOC) menyerang basis-basis Trunajaya di Jatim. ''Karuman Wasiteng Wali'' yang ditemukan di Padepokan Kanigoro, Gunung Pasir, antara Probolinggo-Pasuruhan, berangka 1512, di mana DG Hollander menelitinya pada tahun 1896.

Ternyata banyak klangenan di Jawa bukannya main-main, dan keliru jika kebiasaan tersebut hanya dinilai dari pandangan wadhag belaka. Contohnya, memelihara perkutut dan menghayati suaranya bukan hanya luru seneng, tetapi sesungguhnya mburu antenge pikir lan urip. Memberi aba-apa perkutut juga merupakan salah satu cara berkomunikasi dengan hewan dan alam semesta. Seluruh gerak kehidupan perkutut dalam sangkarnya pun dapat dijadikan kaca benggala. ''Sapa kang menehi kabecikan marang liyan, bakal winales becik dening liyan.'' Maka, lebih terpuji lagi jika masih suka nguri-uri kebiasaan, pada waktu-waktu tertentu melepas kembali perkutut peliharaanya ke alam bebas, pulang ke habitatnya. Artinya, klangenan memelihara perkutut juga menjadi pelajaran berharga bagi kita: ''Sapa seneng ngrungokake tangise liyan, ora pantes nangisi barang darbeke kang ilang.''


24 komentar:

  1. PERTAMAX DULU !!!


    walah yo mesti nangis to nek barange ilang lha piye gantine angel men

    BalasHapus
  2. Alam pegunungan suara gemericik air mengalir .. burung berkicau bersahutan .. nikmat alam apalagi yang hendak kita dustakan ? SubhanaAllah

    BalasHapus
  3. memang kalo mengelus-ngelus burung itu rasanya gimana gitu ya (lmao)

    BalasHapus
  4. klangenan perkutut, bweeh!! kalo yang dapet bagus manuk bisa jadi kijang tuh!

    BalasHapus
  5. budaya Jawa memang misteri yang sangat indah bagi yang mengetahuinya, sampai sekarang pun budaya itu masih di anut oleh beberapa orang yang berketurunan Jawa langsung, seperti halnya kakekku yang sampai sekarang masih menganut budaya Jawa tersebut..
    **jadi malu sebagai keturuan Jawa tapi masih belum bisa menerapkannya**

    BalasHapus
  6. oke betul itu, melepas kembali perkutut peliharaannya ke alam bebas

    BalasHapus
  7. Bukanne rasialis utowo mbanggakne ras tertentu... tapi yakin aku bangga banget dadi wong Jowo.

    top postinganmu sob...

    BalasHapus
  8. Weh... luar biasa yaa, penghayatannya luar biasa
    cuma saya dari dulu nggak bisa melihara burung....

    BalasHapus
  9. perkutut??? saya suka itu, walaupun tidak memelihara sendiri, ra sempat...
    daripada burung oceh2an lain, saya lebih suka perkutut, karena dibudidayakan di kandang turun temurun, tidak mengambil dari alam liar...

    BalasHapus
  10. esuk2 ngelus2 manuk trus manasi manuk

    BalasHapus
  11. itulah sebabnya mengapa saya memelihara burung walaupun bukan perkutut dan walaupun saya sudah punya burung (lmao)

    budaya jawa ayo kita uri-uri bareng

    saluttt

    BalasHapus
  12. curigo, kukilo, turonggo, griyo, garwo

    BalasHapus
  13. memelihara perkutut...
    sebuah keinginan yang masih terpendam hingga saat ini karena kondisi yang belum tepat...

    Tapi suatu hari kelak..., harus...

    BalasHapus
  14. dirumahku ramai dengan anggungan burung perkutut ini "aur keteg koong koong kong"

    BalasHapus
  15. suara perkutut tuh emang merdu mas,

    engga kayak aku, kalo aku sih napas aja pales (fals)

    BalasHapus
  16. ntr dulu mas.. pandangan wadhag? itu artinya apa ya? gak mudheng ...:D

    BalasHapus
  17. sepertinya saya baru pertama kali mampir di sini yahh???

    BalasHapus
  18. aq biyrn ngingu manuk tapi mati kabeh, kalah karo tikus seng gedhe-gedhe nanng omah

    BalasHapus
  19. Wah, hebat tuh bisa berpikir gitu. Jadi malu gg bisa menghayati sampai seperti itu. Ayo dimulai... :)

    BalasHapus
  20. jarene wong jowo kuwi, lanang tenan yen wis duwe wismo garwo turonggo karo manuk

    BalasHapus
  21. dalam kultur jawa, konon seseorang dianggap sukses jika sudah mempunyai turangga, wanita, dan kukila, mas. perkutut agaknya bukan lagi sekadar klangenan, tapi juga dah menjadi bagian dari gaya hidup!

    BalasHapus
  22. klangenanku saiki gur Jupebiru je....perkututku wis ilang, iber. arep tuku maneh sik males....mbiyen yo nduwe terwelu karo pitek, tapi yo wis dipangan kabeh.... :D

    BalasHapus
  23. Perkutut jaman dulu menang mempunyai yoni bagi pemiliknya, tapi perkutut sekarang ? He he he

    BalasHapus