Selasa, 26 Mei 2009

Neoliberalisme

Tiba-tiba saja mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.

Tulisan ini tidak bermaksud mengupas Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa dirinya bukan seorang neoliberalis. Sesuai dengan namanya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.

Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II. Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon.

Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS) pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.

Sebagaimana diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan: "Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan”. Namun kedigdayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagen sebagai presiden AS dan Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.

Selanjutnya, terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan rivatisasi BUMN.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.

Menyimak uraian tersebut, secara singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme, neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar. Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar. Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme.


11 komentar:

  1. tapi pada prinsipnya faktor politik tidak bisa di pisahkan dari sektor ekonomi

    BalasHapus
  2. pertamaxxxxxxxxxx

    informasi menarik mas, jadi tahu nih apa neoliberalisme.
    semoga saja pemimpin kita menentukan kebijakan yang terbaik buat bangsa dan negaranya.

    BalasHapus
  3. sorry...
    keduaaaaxxxxxxx.......he...he

    BalasHapus
  4. siapa menguasai sistem pendidikan
    maka dialah yang akan menjadi pemenang...

    BalasHapus
  5. kelihatannya kecepeten 10 tahun mas (lmao), koreksi mawon loh...
    mau neo liberalisme atau neo the matrix sih boleh-boleh saja, cuman kalo meniru dan fotokopi mbok ya seluruhnya sekalian jangan setengah-setengah, karena meskipun Inggris menganut neoliberal seperti itu namun hak-hak dan kesejahteraan warga negara tetap diperhitungkan semisal dengan para penganggur yang tidak punya pekerjaan masih mendapatkan santunan dalam bentuk social security, atau di US dengan Social security numbernya, tetep keren, namun disini yang dicontoh hanya separo saja, begitu pula dengan layanan-layanan yang seharusnya ada..., tinggal nyontek aja gengsi. ato kalo mau pilih cara islam, ya hapuskan semua bentuk cukai dan pajak karena tidak ada dalam tuntunan agama mayoritas itu. Emangnya neoliberal itu bahaya... jiakaka...

    BalasHapus
  6. Mestinya kembali ke UUD, jangan semua diserahkan ke pasar

    BalasHapus
  7. semua sistem pasti ada kelebihan dan kekurangannya.
    yang penting konsistensi dan totalitas.

    BalasHapus
  8. Memandang liberalsm dari kubangan lumpur di sawah akan sangat berbeda bentuknya dengan memnadang faham tersebut dari balik meja kantor mewah. Wong cilik tetap tidak siap mengikuti kedinamisan pasar liberal.. Bisakah neoliberal menjembatani kelemahan massive ini ketika berhadangan dengan pasar bebas...? Atau malah semakin menambah jadi terpuruk? Wong selma ini judul sama isinya status bangsa ini sdh gak nyambung...hehehe
    Negara Agraris tapi beras import, kedelai import, gula import, (lmao).... Siapapun Presiden dan wakilnya yang jadi semoga yang bisa mengentaskan keterpurukan petani kita.

    BalasHapus
  9. Isu neoliberalisme hanyalah bagian dari perang pencitraan (khususnya digembar-gemborkan oleh media). Menciptakan kesan bahwa paham itu jelek, dan yang jelek itu ditempelkan pada pasangan tertentu. Sedangkan Ekonomi Kerakyatan itu bagus, ditempelkan ke pasangan tertentu lagi. Itu saja, tidak lebih.

    BalasHapus
  10. aku gak paham masalah ekonomi, ngertine cuma pie carane golek duwit seng halal

    BalasHapus
  11. waduh no commnet dah klo ini..g ngerti pak klo politik2an hihihi

    BalasHapus